DPR RI dan pemerintah resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang dalam rapat Paripurna pada Selasa (6/12).
Pengesahan ini terjadi di tengah kritik publik yang menilai ada sejumlah pasal bermasalah dan mengarah ke kriminalisasi dalam undang-undang tersebut.
Usai pengesahan RKUHP jadi undang-undang, Menkumham Yasonna H Laoly dan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Pacul meminta pihak-pihak yang tak puas atau merasa hak konstitusionalnya terganggu agar mengajukan gugatan saja atas KUHP baru ke Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yasonna berkata bahwa KUHP ini tak akan memuaskan semua pihak. Ia pun tak ambil pusing atas suara penolakan terhadap UU tersebut.
"Kalau untuk 100 persen setuju tidak mungkin kalau pada akhirnya nanti masih ada yang tidak setuju, gugat aja di Mahkamah Konstitusi," kata Yasonna di kompleks parlemen, Senin (5/12).
Pacul bahkan meminta masyarakat dan aktivis baik dari koalisi sipil maupun mahasiswa tak usah berdemonstrasi terkait pengesahan KUHP.
"Nah kalau ada memang merasa sangat mengganggu, kami persilakan kawan-kawan menempuh jalur hukum dan tidak perlu berdemo. Kita berkeinginan baik, dikau juga berkeinginan baik," kata Pacul dalam kesempatan yang sama.
Namun, sejumlah pakar mengkritik DPR dan pemerintah yang dengan mudahnya menyikapi kritik dan penolakan KUHP dengan membelokkan ke jalur gugatan lewat Mahkamah Konstitusi (MK).
Harusnya proses pembuatan UU dilakukan seksama dengan partisipasi bermakna (meaningful participation). Kritik terhadap proses itu tidak seharusnya langsung dialihkan dengan melempar wacana ke MK. Sebagai informasi, MK yang lahir pascareformasi 1998 memang memiliki kewenangan untuk melihat sebuah peraturan perundang-undangan apakah bertentangan dengan konstitusi atau tidak, baik secara formil maupun materiil.
Pakar hukum tata negara, Feri Amsari menilai anjuran Yasonna dan Bambang Pacul soal gugatan ke MK justru memperlihatkan keinginan dari pembuat aturan agar publik mempertanyakan produk hukumnya. Serta, memperlihatkan seolah-olah pembuat undang-undang begitu percaya diri bahwa MK bakal menolak gugatan.
Dengan kecurigaan itu ia tak yakin MK bakal mengabulkan gugatan terhadap KUHP baru. Dan jika gugatan itu benar ditolak maka MK lewat putusannya justru akan melegitimasi KUHP tersebut.
"Jadi mereka [pemerintah dan DPR] kan membangun legitimasi melalui putusan MK bahwa UU ini tidak masalah, sudah konstitusional karena ada putusan MK," ucap pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Andalas itu.
Setelah pengesahan yang dilakukan di Gedung Wakil Rakyat pada Selasa lalu, gugatan ke MK menjadi satu-satunya langkah konstitusional yang bisa ditempuh masyarakat untuk menggugat KUHP. Namun, pakar dan sejumlah aktivis melihat upaya ini nampaknya hanya akan berakhir percuma.
Sebagian yang pesimir berkaca pada kondisi peradilan konstitusi yang kekinian dianggap lebih berpihak pada pembuat undang-undang, yakni pemerintah serta DPR.
Ini terkait dengan status Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi). Termasuk pula, polemik pemecatan Aswanto dari posisi hakim konstitusi beberapa waktu lalu oleh DPR.
Aswanto diberhentikan dengan alasan karena kerap membatalkan undang-undang yang telah disahkan DPR. Jokowi kemudian melantik Guntur Hamzah untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Aswanto.
"(Dengan keberpihakan itu) maka ya gugatan itu akan cenderung sulit untuk dimenangkan rakyat. Jadi kalau rakyat akan meminta keadilan kepada siapa ketika MKnya apa seperti itu," kata pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin.
"Tentu kita harus optimis, tapi di tengah situasi seperti ini banyak masyarakat yang pesimis," lanjutnya.
Ujang menyebut keberpihakan hakim konstitusi pada pemerintah maupun DPR ini menjadi sebuah persoalan tersendiri. Terlebih, lanjut Ujang, hakim merupakan benteng terakhir keadilan.
"Bagaimanapun benteng terakhir keadilan ada di tangan pengadilan, di tangan hakim, kalau hakimnya berpolitik ini kan menjadi persoalan kita bersama dalam konteks kenegaraan kita," ujarnya.
Senada, Feri Amsari juga mengamini bahwa komposisi hakim konstitusi saat ini sangat berpihak pada pembuat undang-undang.
"Komposisi hakim sudah sangat berpihak pada pembentuk undang-undang, apalagi pembentuk undang-undang memecat hakim konstitusi kalau berbeda pandangan," tutur Feri.
Kendati demikian, kata Feri, perjuangan bukanlah soal kalah dan menang. Yang utama, lanjut dia, adalah memperjuangkan apa yang kita yakini benar.
"Soal hakim berpihak kepada orang-orang yang mengangkat mereka itu soal tanggung jawab ke Tuhan," ucap dia.
Sebagai hakim, Feri menyebut sudah sepatutnya mereka memiliki tanggung jawab untuk melindungi keadilan bagi semua pihak.
"Silakan mereka berbuat curang sesukanya, tetapi mereka mestinya terpanggil nuraninya untuk melindungi keadilan atas nama Tuhan itu jadi pertanggungjawabannya kepada diri mereka sendiri, kepada keadilan, kepada Tuhan yang mereka yakini kalau mereka menunjukan keberpihakan ke pembentuk undang-undang mereka tidak layak jadi hakim yang adil," tuturnya.
Sampai saat ini CNNIndonesia.com belum mendapatkan pernyataan resmi dari Mahkamah Konstitusi (MK) perihal kritik dan pesimisme pengamat bila KUHP digugat ke MK.
Baca halaman selanjutnya.