ANALISIS

Deradikalisasi Tercoreng Aksi Bom Polsek Astana Anyar Eks Napiter

CNN Indonesia
Kamis, 08 Des 2022 10:47 WIB
Kapolri mengatakan pelaku bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar adalah eks napiter yang menjalani deradikalisasi namun masih berstatus 'merah'.
Anggota INAFIS sedang melakukan pemeriksaan atas sepeda motor yang diduga ditinggalkan pelaku bom bunuh diri Polsek Astana Anyar, Kota Bandung. (REUTERS/WILLY KURNIAWAN)

Selain deradikalisasi yang efektivitasnya masih dipertanyakan, pengamat mengatakan ada pula variabel  ideologi dan momentum sebagai faktor penyebab aksi teror berulang.

Untuk diketahui, aksi bom bunuh diri di markas polisi pernah terjadi pada 2016 di pintu masuk Polresta Solo. Lalu, 14 Mei 2018, markas Polrestabes Surabaya. Pada 3 Juni 2019 di pos polisi Kartasura dan pada 13 November 2019 di Polrestabes Medan.

Selain itu ada pula upaya 'penyerangan' perempuan dengan membawa pistol di halaman Mabes Polri di Jakarta pada 31 Maret 2021.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Al Chaidar mengatakan pelaku aksi teror dan jaringannya menganggap penting momentum. Teror bom biasanya terjadi pada momen natal dan tahun baru (nataru) dan Paskah.

Chaidar menjelaskan hari-hari itu merupakan momentum yang mereka benci. Sebab, perayaan yang biasa dilakukan pada momentum itu dianggap bertentangan dengan syariat Islam yang mereka yakini.

Chaidar menduga pada aksi bom bunuh diri di Astana Anyar, pelaku dan jaringannya memanfaatkan momen nataru.

"Itu momentum yang menimbulkan kebencian mereka," kata Chaidar.

"Dari segi kepercayaan mereka yakin pada bulan bulan tersebut, pintu surga terbuka. Kesempatan untuk berbuat ijtihad itu terbuka pintu surganya," imbuhnya.

Selain momen Nataru, Chaidar menduga pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga turut memicu pelaku melancarkan aksinya. Sebab, pada saat kejadian, ditemukan kertas yang menunjukkan penolakan pelaku bom terhadap KUHP.

Sebagai informasi, pada sepeda motor yang diduga digunakan pelaku bom Astana Anyar, tertempel kertas bertulisan tangan, 'KUHP Hukum Syirik/Kafir; Perangi Para Penegak Hukum Setan'.

Chaidar menuturkan bahwa bomber dan jaringan teroris biasanya menyerang sesuatu yang mereka anggap 'tagut'. Istilah itu digunakan untuk menunjukan sesuatu yang disembah selain Allah SWT dan setiap pemimpin kesesatan.

"Mereka sangat sensitif kalau ada misalnya yang mereka benci. Seperi KUHP adalah produk sistem Pancasila, tagut, hukum kafir, hukum setan," ucapnya.

Ridlwan Habib juga mengatakan sejak awal pelaku bom dan jaringannya membenci produk hukum manusia. Dia menyebut jaringan teroris hanya mengakui hukum Allah.

"Kebetulan saja pada saat akan serangan ini kebetulan waktunya bersamaan dengan pengesahan KUHP," ujarnya.

Sementara itu, mengutip dari Antara, Peneliti senior Research Centre for Security and Violent Extrimism (RECURE) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia Rakyan Adibrata mengaku tidak yakin aksi teror yang dilakukan Agus Sujatno alias Agus Muslim dilatarbelakangi pengesahan RKUHP jadi undang-undang.

"Tidak juga sih, karena di dalam ideologi ISIS ada pembatalan keislaman. Bagi mereka, prinsip yang ditekankan ialah jangan pernah mengikuti hukum buatan manusia," kata Rakyan, Rabu.

"Tapi apakah spesifik KUHP itu yang kemudian membuat dia melakukan aksi teror, ya tidak lah. Itu hanya variabel tambahan saja," imbuhnya.

Adibrata menjelaskan mengacu pada undang-undang, maka ujung tombak pencegahan radikalisme dan terorisme terletak di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

BNPT adalah pihak yang melaksanakan program deradikalisasi dan kontra radikalisme. Kontra radikalisme ditujukan agar mencegah orang tidak radikal. Sementara, deradikalisasi adalah upaya mengurangi bahkan menghilangkan paparan orang yang sudah termasuk radikal menjadi tidak radikal.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah orang-orang yang dulunya mantan narapidana terorisme ketika bebas tetap masih terlibat aksi terorisme. Jika dalihnya yang bersangkutan menolak mengikuti deradikalisasi, maka seyogianya harus ada program deradikalisasi di luar lembaga pemasyarakatan yang dilakukan pemerintah.

"Termasuk monitoring dan evaluasi terhadap orang-orang yang menolak program deradikalisasi," kata dia.

Khusus untuk kepolisian, ia memberikan masukan agar Polri didorong lebih maksimal menjadi mitra kerja BNPT dalam pencegahan terorisme di Indonesia. Apalagi, BNPT tidak memiliki kapabilitas pengawasan intensif terhadap eks narapidana yang jumlahnya mencapai ratusan orang.

Ia menyebutkan sekitar lima persen dari ratusan eks narapidana terorisme tersebut masih memungkinkan kembali melakukan kejahatan yang sama atau residivis.

Sementara itu, saat meninjau korban bom di Bandung, Menko Polhukam Mahfud MD meminta Polri dan BNPT terus meningkatkan kewaspadaan. Menurut Mahfud, peristiwa bom bunuh diri di Mapolsek Astanaanyar menjadi bukti bahwa jaringan teroris masih ada di Indonesia, meskipun secara kuantitatif aksi terorisme sudah menurun sejak 2018.

"Sampai sekarang itu sudah jarang-jarang terjadinya, sekali-kali terjadi, tetapi masih ada. Buktinya hari ini," kata Mahfud usai menjenguk korban ledakan bom bunuh diri yang dirawat di Rumah Sakit Immanuel, Kota Bandung, Rabu.

Mahfud mengatakan seluruh pihak harus bekerja sama untuk memberantas terorisme karena jika terorisme itu sudah menjadi ideologi maka upaya deradikalisasi pun harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh.

"Dan harus dipantau terus karena kadang kala jaringannya masih hidup. Sepertinya sudah mati itu, tapi sebenarnya sel-selnya itu masih bergerak," katanya.

Selain itu, Mahfud juga meminta pengertian masyarakat ketika ada aparat keamanan yang menindak tegas pihak-pihak diduga terlibat tindak terorisme.

"Terkadang kan ada yang nyinyir. Kalau kita nangkap teroris dianggap sewenang-wenang, tapi kalau tidak nangkap, lalu dibilang bodoh, dibilang lalai," katanya.

(yla/kid)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER