Komnas HAM Dorong Masyarakat Sipil Gugat KUHP ke MK
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong masyarakat sipil untuk melakukan judicial review atau uji materi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai menyebut pihaknya juga menyoroti sejumlah pasal dalam KUHP baru yang dikhawatirkan berpotensi melanggar HAM.
"Mendorong masyarakat sipil untuk melakukan upaya-upaya korektif melalui judicial review di MK," kata Semendawai dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/12).
Sejumlah pasal yang dimaksud di antaranya adalah ketentuan tentang unjuk rasa dan demonstrasi pada pasal 256 dan ketentuan tentang aborsi pada pasal 466 dan 467.
"Pasal tentang aborsi berpotensi mendiskriminasi perempuan," ujarnya.
Lalu, tindak pidana penghinaan kehormatan atau martabat presiden dan wakil Presiden pada pasal 218, 219, dan 220.
Selanjutnya, tindak pidana penyiaran atau penyebaran berita atau pemberitahuan palsu pada pasal 263 dan 264, serta kejahatan terhadap penghinaan kekuasaan publik dan lembaga negara pada pasal 349-350.
"Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran atas hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, berserikat dan berpartisipasi dalam kehidupan budaya," ujar dia.
"Sebagaimana dijamin dalam pasal 28 E UUD 1945 dan Pasal 15 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya," imbuhnya.
Lihat Juga : |
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward OS Hiariej menyebut pintu MK terbuka lebar bagi para pihak yang tidak setuju terhadap rencana pengesahan RKUHP.
Eddy, sapaan akrabnya, mempersilakan para pihak yang tak setuju terhadap RUU tersebut untuk menggugat ke MK.
"Kalau ada warga masyarakat yang merasa hak konstitusional dilanggar pintu Mahkamah Konstitusi terbuka lebar-lebar," kata dia di kompleks parlemen, Kamis (24/11).
Namun sejumlah pakar hukum tata negara memandang pesimistis perihal gugatan di MK.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti pesimis hakim MK akan menerima gugatan dan mengambil putusan yang objektif. Menurut Bivitri, hakim MK akan dibayang-bayangi pemecatan jika putusannya tidak sesuai dengan kehendak pemerintah dan DPR.
Bivitri berkata kekhawatiran itu muncul sebab ada preseden Aswanto yang diberhentikan DPR dari kursi hakim karena alasan tersebut.
"Mereka akan mikir seribu kali kalau nanti mereka menyebut pasal pasal di RKUHP itu inkonstitusional karena takut 'di-Aswanto-kan'," kata Bivitri di Jakarta Selatan, Minggu (6/12).
(yla/kid)