Massa mahasiswa menggelar unjuk rasa di depan Kompleks Parlemen menyorot Pasal Ancaman Demo Tanpa Pemberitahuan yang diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI Bayu Satria Utomo mengatakan Pasal 256 yang mengancam pidana bagi demo tanpa pemberitahuan tak membawa semangat demokratisasi dan dekolonialisasi.
Pasal 256 berbunyi:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".
Bayu menilai pasal tersebut menjadi ironi karena masyarakat lewat KUHP seperti dijajah oleh pemerintah sendiri.
"Karena perbedaan sanksi sudah jelas, kalau tujuan kita adalah dekolonialisasi lepas dari penjagaan dan hari ini masih dijajah. Dan ironinya kita masih dijajah oleh pemerintah sendiri," kata Bayu dalam aksi, Kamis (15/12).
Menurut Bayu, mahasiswa keberatan dengan penambahan ancaman pidana dalam pasal tersebut. Padahal KUHP lama hanya mengancam pidana demo tanpa pemberitahuan hanya dua minggu.
Kini, ancamannya bertambah menjadi enam bulan. Dia menilai pasal tersebut tidak sejalan dengan semangat berdemokrasi.
"Pasal 256 yang masih mengancam enam bulan penjara bagi demonstrasi tanpa pemberitahuan itu bahkan lebih parah dari KUHP lama kita yang sanksinya itu dua minggu," katanya.
Pasal 256 sebelumnya juga menuai sorotan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti Pasal Penghinaan Lembaga Negara, Pasal Makar, hingga Pasal Kohabitasi.