ANALISIS

Coblos Partai Pemilu 2024 Ibarat Beli Kucing dalam Karung

CNN Indonesia
Jumat, 30 Des 2022 10:24 WIB
Sistem pemilihan proporsional terbuka tengah digugat ke MK. Jika dikabulkan, pemilu kembali terapkan proporsional tertutup yang hanya pilih parpol, bukan caleg.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Khairun Margarito Kamis mengatakan masalah utama dalam pemilu adalah kualitas calon anggota legislatif. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Khairun Margarito Kamis mengatakan tak terlalu peduli dengan sistem terbuka atau tertutup pada pemungutan suara legislatif.

Margarito menilai kedua sistem itu sama-sama bermasalah. Menurutnya, yang paling utama dipastikan adalah kualitas calon anggota legislatif yang akan dipilih rakyat.

"Jadi dua-duanya tidak memberikan jaminan apa-apa tentang mutu representasi mereka. Bukan soal proporsional tertutup atau terbuka, tapi kualitas calonnya," kata Margarito.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Margarito tak mempermasalahkan sistem yang akan diterapkan sepanjang kualitas calon wakil rakyat terjamin dan penopang sistem tersebut berjalan.

"Penguatan dengan sistem yang lain. Semacam penopang. Kita bikin tatanan, misalnya komunitas rakyat telah bermusyarawah dan memutuskan A B C D (berbagai keputusan), wakil-wakil rakyat harus mengakomodir," ucap Margarito.

PDIP kukuh terapkan sistem tertutup

Politikus senior PDIP Hendrawan Supratikno menegaskan pihaknya tetap mendukung sistem proporsional tertutup. Sejumlah hal menjadi alasan partai berlambang kepala banteng itu ingin mengembalikan sistem pemungutan suara layaknya sebelum Pemilu 2004 silam.

"PDI Perjuangan selalu berada di garis proporsional tertutup karena alasannya UUD 1945 Pasal 22E ayat (3)...Argumentasinya kuat. Didukung oleh beberapa alasan. Titik tolak pertama adalah konstitusi. Pasal 22E ayat (3) Undang-undang Dasar 1945," kata Hendrawan kepada CNNIndonesia.com, Kamis (29/12).

Bunyi Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yakni, "Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik."

Alasan lain yang dijabarkan Hendrawan adalah terkait biaya politik yang dapat ditekan apabila sistem pemungutan suara kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Selain itu, ia juga menyoroti perihal politik uang yang kerap terjadi dalam pemilihan.

"Untuk menekan biaya politik yang luar biasa tinggi, biaya politik tinggi karena ada mentalitas yang individualistik, liberalistik, dan materialistik. Isitilahnya kalau orang per orang itu yang maju, akan melakukan berbagai cara agar terpilih. Cara yang paling dominan adalah menggunakan alat peraga kampanye yang disebut uang. Money politics semarak di mana-mana," ujarnya.

Menurut Hendrawan, persaingan tersebut dapat memicu ketegangan sosial yang tidak sehat. Karenanya, pihaknya kukuh untuk kembali ke sistem proporsional tertutup.

"Bersaing dengan orang yang sama di partainya. Jeruk makan jeruk istilahnya sekarang. Jadi semua adalah musuh semua. Ideologi seperti ini akan berbahaya karena menimbulkan ketegangan sosial yang tidak sehat. Jadi untuk kepentingan ideologi kebersamaan gotong royong dan juga untuk menempatkan parpol dalam posisi sebagaimana seharusnya dalam konstitusi, maka kembali ke proporsional tertutup," katanya.

Sebagai informasi, sistem proporsional tertutup pernah diterapkan di Indonesia, yakni pada Pemilu 1955. Sistem tersebut juga diterapkan saat pemilu sepanjang era Orde Baru hingga tahun 1999.

Setelah itu, tepatnya pada Pemilu 2004, Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka. Masyarakat pun dapat langsung memilih caleg di surat suara, tak lagi hanya mencoblos partai politik seperti sebelumnya.

(fra/pop/fra)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER