Dengan segala keterbatasan, Ken bersama kawan-kawan sadar diri dan tidak terlalu berharap kepada negara. Menurutnya, persoalan korban NII memang belum jadi prioritas dan belum dianggap membahayakan oleh negara, walaupun angkanya terbilang cukup banyak.
Sementara pihak yang mendapat dukungan penuh dari negara, yakni narapidana teroris dan mantan napi terorisme. Tidak hanya itu, keluarga napi terorisme mendapat bantuan usaha dan anaknya mendapat jaminan pendidikan sampai jenjang pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi jika belum jadi teroris, walaupun sudah sangat radikal di NII dan habis-habisan ekonomi karena aset tanah dan rumahnya telah dijual untuk infak, tetap saja belum diperhatikan oleh negara. Alasanya tidak ada anggaran, dan belum jadi teroris," jelasnya.
Menurut Ken, terorisme di Indonesia tidak akan pernah habis dan akan tetap eksis, mati satu tumbuh seribu jika akar pemahaman radikal tetap dibiarkan. Dia mengibaratkan seperti pohon yang berbuah dan dipetik setiap musim, jika akarnya tidak dicabut maka pohon itu akan berbuah setiap musim.
Menurutnya, pembiaran dan ketidakpedulian negara sama halnya seperti menyiram pohon yang menyuburkan kelompok radikalisme di Indonesia.
"Jadi para mantan NII ini menganggap, seolah tragedi kemanusiaan atas nama agama ini seperti peternakan. Ada yang pelihara, ada yang memberi makan dan ada yang memanfaatkan," kata dia.
Ken menambahkan, orang dihancurkan ekonominya atas nama infak bernegara Islam, dihancurkan ahlaknya sehingga menyalahkan dan mengkafirkan orang lain serta dihancurkan masa depan demi berjuang di negara Islam Indonesia.
"Ini sudah masuk kategori tragedi kejahatan kemanusiaan mengatasnamakan agama, dan negara membiarkannya. Jika terus dibiarkan, akan berpotensi menjadi bencana nasional seperti di Suriah dan Libya yang dulu damai sejahtera kini hancur berantakan," kata Ken.
(zai/pmg)