Jakarta, CNN Indonesia --
Sidang perdana lima tersangka Tragedi Kanjuruhan digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (16/1) kemarin. Namun, Tim Gabungan Aremania dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) pun mencatat ada sejumlah kejanggalan dalam pelaksanaannya.
"Sidang ini potensial menjadi peradilan sesat karena ada sejumlah kejanggalan," kata Andy Irfan, selaku pendamping hukum Tim Gabungan Aremania (TGA) dan Sekjen Federasi KontraS, Selasa (17/1).
Sidang dipindah ke Surabaya
Persidangan para tersangka Tragedi Kanjuruhan, dialihkan digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Padahal, locus delicti atau tempat terjadinya peristiwa pidana itu berada di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengalihan sidang Tragedi Kanjuruhan ini sebagaimana Keputusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 355/KMA/SK/XII/2022 ini berdasarkan permohonan dari jajaran Formkopimda Malang. Mereka mempertimbangkan faktor keamanan dan menghindari hal yang tak diinginkan.
Tim Gabungan Aremania (TGA) melalui Pendamping Hukumnya Anjar Nawan Yusky, mengatakan pihaknya menyayangkan ketetapan itu.
"Kami juga menyayangkan. Sebab kalau sidang itu digelar di Malang, maka Aremania dan keluarga korban bisa lebih optimal mengawal jalannya. persidangan," kata Anjar.
Aremania dilarang datang
Polrestabes Surabaya meminta agar Kelompok Suporter Arema FC, Aremania tak datang ke Surabaya untuk mengikuti jalannya persidangan kasus Tragedi Kanjuruhan. Polisi melarang kelompok suporter itu datang ataupun melakukan unjuk rasa di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Aremania pun mengaku kecewa dengan polisi yang melarang mereka datang ke Surabaya untuk menyaksikan persidangan Tragedi Kanjuruhan.
"Statement Polrestabes Surabaya [melarang Aremania] sepertinya menilai Aremania itu perusuh. Titik rusuhnya di mana? Selama tiga bulan kami mencari keadilan, dan aksi di Malang juga tidak ada kerusuhan," kata salah satu tokoh Aremania, Ambon Fanda.
"Kami kesana itu bukan mau mendukung kesebelasan, kami ini sedang cari keadilan," tambahnya.
Keluarga dihalang-halangi
Sebanyak empat keluarga korban Tragedi Kanjurhan datang ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada sidang perdana. Tapi mereka sempat dihalang-halangi masuk ke ruang sidang Tragedi Kanjuruhan.
Saat tiba di PN, sekitar pukul 10.30 WIB, mereka tak boleh langsung masuk ke ruang sidang. Padahal proses persidangan. Keempatnya diminta menunggu di halaman PN.
"Saya tanda tanya kenapa sudah mulai kok enggak boleh masuk, kan sidang terbuka, kok tertutup buat kami," teriak Rini Hanifah, ibu dari mendiang korban Agus Rifansyah. Rini pun menegaskan bahwa kedatangan mereka ke Surabaya adalah untuk mengawal keadilan bagi anaknya.
"Kami ke sini niatnya mau mengawal keadilan anak kami, bukan demo, bukan senang-senang, karena saudara kami dibantai," ucapnya.
Tak lama, setelah protes, empat keluarga sidang pun dibolehkan masuk ke Ruang Cakra. Mereka juga didampingi beberapa pengacara korban.
Dilarang live streaming
Sekjen Federasi KontraS, Andy Irfan yang juga jadi pendamping hukum korban menilai PN Surabaya tak transparan ke publik. Pasalnya PN Surabaya menerapkan sejumlah, pembatasan yang ketat. Salah satunya melarang media massa untuk melakukan live streaming.
"Proses persidangan ini juga menunjukkan bagaimana akuntabilitas, transparansi, pengawasan publik terhadap proses persidangan sangat minim," kata Andy.
TGA pun mendesak agar PN Surabaya mengubah kebijakan, dengan mengizinkan media massa melakukan live streaming hingga melibatkan pengawasan publik secara terbuka.
"Sidang terbuka tapi dikelola secara terutup," ujarnya.
Pasal dakwaan tak tepat
Andy Irdan juga menyoroti, jaksa yang hanya mendakwa tiga polisi terdakwa Tragedi Kanjuruhan dengan pasal 359 KUHP.
"Pertama, pasal yang digunakan oleh kepolisian yang berlanjut kemudian menjadi dakwaan di jaksa 359 dan 360, itu tidak akan mampu menyentuh seluruh peristiwa pidana di Stadion Kanjuruhan," kata Andy.
Selanjutnya, kata dia, para terdakwa pada persidangan kali ini, yakni para perwira polisi tidak memilik tanggung jawab utuh dan penuh, dalam Tragedi Kanjuruhan yang setidaknya menewaskan 135 korban itu.
Sedangkan pejabat Polri yang paling bertanggung jawab dan pemegang komando tertinggi, yakni eks Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta, menurutnya, justru tak tersentuh oleh hukum.
"Pertanggungjawaban kepada hukum tidak bisa diberikan kepada tiga polisi yang sekarang sedang disidang. Tetapi sejumlah atasan polisi hingga masuk ke level Kapolda itu sepatutnya dimintai pertanggungjawaban hukum," ujarnya.
ASN Polri jadi pengacara terdakwa
Andy juga memprotes keras keterlibatan Kepala Bidang Hukum (Kabidkum) Polda Jawa Timur Kombes Adi Karya Tobing, yang jadi pengacara tiga polisi terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan.
"Para terdakwa dari kepolisian didampingi penasihat hukumnya yang bukan merupakan pengacara, tapi justru dari pihak Bidkum Polda Jatim," ujar Andy.
Menurut Andy, dari sisi hukum acara, Bidang Hukum Polda seharusnya tak boleh mendampingi terdakwa sebagai pengacara. Sebab mereka berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Seharusnya dari sisi hukum acara tidak mungkin itu diperbolehkan seorang ASN atau seorang polisi mendampingi terdakwa dari kepolisian," ucapnya.
Ia pun menyebut, hal ini sebagai sesuatu yang menyalahi aturan. Seharusnya majelis hakim tak membiarkannya.
Sementara itu, Kabidkum Polda Jawa Timur Kombes Adi Karya Tobing mengklaim dirinya sudah mendapatkan izin insidental untuk menjadi kuasa hukum tiga terdakwa polisi tersebut.
"Kami sudah memiliki izin insidentil dari ketua pengadilan, dan itu dibenarkan sesuai dengan peraturan kepolisian yang sudah ditetapkan oleh Mabes [Polri]," ucap Adi.
Seperti diketahui, lima tersangka Tragedi Kanjuruhan, telah menjalani sidang perdananya di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (16/1) kemarin.
Empat terdakwa di antaranya, yakni Ketua Panpel Arema Arema FC Abdul Haris, Danki 3 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan, Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, dan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, di dakwa Pasal 359 KUHP.
Sedangkan satu terdakwa lainnya, Security Officer Suko Sutrisno, didakwa Pasal 103 ayat (1) Jo pasal 52 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.
Sidang lanjutan akan berlangsung pada Kamis (19/1) dan Jumat (20/1) ini.