Terkendala Regulasi, Majelis Kehormatan MK Belum Bisa Bekerja

CNN Indonesia
Jumat, 03 Feb 2023 11:23 WIB
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) belum bisa bekerja mengusut dugaan perubahan substansi putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU MK yang membahas pencopotan hakim Aswanto lantaran terkendala regulasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) belum bisa bekerja mengusut dugaan perubahan substansi putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU MK yang membahas pencopotan hakim Aswanto lantaran terkendala regulasi.

MK sebelumnya menyatakan MKMK akan mulai bekerja pada Rabu, 1 Februari 2023.

"Kami di MKMK sudah merancang tahapan-tahapan yang akan kami kerjakan namun tidak bisa langsung dilaksanakan karena kendala regulasi," ujar I Dewa Gede Palguna, mantan hakim MK yang ditunjuk menjadi bagian MKMK, Jumat (3/2).

Palguna mengatakan MKMK bekerja berdasarkan "hukum acara" yang dalam hal ini berupa Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Ia menjelaskan PMK yang ada saat ini yaitu PMK Nomor 2 Tahun 2014 tidak lagi bisa digunakan karena ada perubahan Undang-undang Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2020.

Sementara itu, PMK baru yang disesuaikan mengikuti perubahan UU MK belum ada.

"Kami mendapatkan berita kalau semalam draf finalnya sudah pada tahap pembubuhan paraf para hakim. Artinya, jika hari ini PMK itu sudah ditandatangani Ketua MK, kami bisa segera bekerja sesuai dengan rencana kerja yang sudah kami susun," ujar Palguna.

"Pasti akan ada penyesuaian-penyesuaian teknis. Mudah-mudahan tidak ada yang substansial," katanya menambahkan.

CNNIndonesia.com telah menghubungi juru bicara MK Fajar Laksono untuk mengonfirmasi hal tersebut, namun belum diperoleh jawaban.

Sebelumnya, MK memutuskan membentuk MKMK guna menindaklanjuti dugaan perubahan substansi putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU MK yang membahas pencopotan hakim Aswanto.

Keputusan itu diambil lewat Rapat Permusyawarahan Hakim (RPH) yang digelar pada Senin (30/1). RPH diikuti oleh sembilan hakim konstitusi.

Juru bicara sekaligus hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan komposisi MKMK akan diisi oleh hakim aktif, tokoh masyarakat dan akademisi. Lewat RPH, Enny ditunjuk untuk masuk keanggotaan MKMK.

Sementara tokoh masyarakat akan diisi oleh mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna. Mewakili akademisi MK menunjuk Profesor Sudjito yang notabene juga merupakan Dewan Etik MK.

Dugaan perubahan substansi putusan dimaksud kali pertama diungkapkan oleh penggugat perkara nomor: 103/PUU-XX/2022, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Ia menilai perubahan tersebut mempunyai makna yang berbeda.

Terlebih putusan dibacakan MK beberapa jam setelah hakim konstitusi Aswanto diganti dengan Guntur Hamzah yang saat itu merupakan Sekretaris Jenderal MK.

Detail perubahan dimaksud sebagai berikut:

Kalimat yang diucapkan hakim konstitusi Saldi Isra pada 23 November 2022 yaitu:

"Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK..... dan seterusnya."

Sedangkan yang tertuang dalam salinan putusan di situs MK yaitu:

"Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK..... dan seterusnya."

Dugaan perubahan substansi putusan ini mendapat kritik keras dari sejumlah pakar hukum tata negara.

(ryn/fra)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK