Korban Peristiwa Talangsari Lampung meminta negara menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat itu di pengadilan setelah 34 tahun berlalu.
Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), Edi Arsadad alias Ujang menilai janji Presiden Joko Widodo menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dengan jalur non-yudisial sangat tidak adil bagi keluarga korban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pernyataan Presiden, belum apa-apa dibandingkan dengan penderitaan dialami para korban yang mana imbasnya selama bertahun-tahun," kata Ujang dalam keterangannya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/2).
Janji pemerintah memberi rehabilitasi berupa uang, fasilitas untuk korban dan penyesalan, kata Edi yang juga sebagai penyintas atas peristiwa Talangsari, tentunya tidak sebanding dengan stigma yang diterima para keluarga korban lainnya atau yang dirasakan selama ini, dan semuanya itu tidak bisa dinilai hanya dengan materi.
"Diganti uang, saya rasa tidak ada harganya dan nilainya karena tak sebanding dengan stigma yang kami (korban) terima. Kami distigma sebagai gerakan pengacau, dianggap PKI, teroris dan lainnya itu sangat menyakitkan," ujarnya.
Menurutnya, kerugian non materiil tersebut, jauh lebih menyakitkan dibanding betapa ringannya pemerintah menyatakan hanya penyesalan atas peristiwa itu.
"Saat peristiwa Talangsari itu terjadi, saya masih usia belasan tahun dan sempat menjadi tahanan politik pasca peristiwa itu. Tidak bisa sekolah dan ditolak sana-sini, sekarang mau diganti dengan uang saya rasa tidak," ungkapnya.
Ia berharap, pemerintah membuktikan secara nyata dalam menyelesaikan atau memberikan pemulihan kepada korban secara transparan dan bermartabat. Sampai saat ini pun, kata dia, diskriminasi itu masih tetap ada terhadap para korban Talangsari.
"Presiden sudah ngomong, menyesalkan dan berjanji tidak mengulangi di masa mendatang. Tapi apakah pejabat-pejabat yang ada di bawahnya mengikuti instruksi Presiden," jelasnya.
Dia mengatakan pernyataan Presiden Jokowi tersebut, bisa menjadi pintu masuk Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melanjutkan penyidikan yang sudah direkomendasikan oleh Komnas HAM pada 2008 lalu.
"Pengadilan HAM yang kita nantikan, supaya jelas agar ada ketok palu siapa pelaku dan korbannya. Jadi stigma itu hilang sama kami (korban) ke depan di pengadilan. Kesimpulan itu, kami sampaikan juga dalam diskusi publik peringatan 34 tahun peristiwa Talangsari bersama KontraS kemarin," pungkasnya.
Sementara anggota divisi pemantauan impunitas KontraS, Jane Rosalina Rumpia berpendapat penyelesaian non-yudisial itu menunjukkan bahwa negara tidak berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Sebenarnya dan lebih utama, penyelesaiannya lewat jalur yudisial dalam pengadilan HAM," kata Jane.
Meski Presiden Joko Widodo sudah mengakui dan menyesali peristiwa Talangsari sebagai pelanggaran HAM berat, hal itu tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan akuntabilitas dan pertangungjawaban atas kasus tersebut.
"Padahal, berkas penyelidikan Komnas HAM terkait dengan peristiwa pelanggaran Talangsari ini sudah rampung sejak tahun 2008 silam," kata dia.
KontraS menyatakan jika Presiden Jokowi sungguh-sungguh dengan pidato pengakuannya, tentunya harus dibuktikan dengan aksi nyata negara untuk memberikan hak-hak korban dengan bermartabat.
Diketahui, Presiden Joko Widodo menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Instana Negara, Rabu (11/1). Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu dan salah satunya adalah peristiwa Talangsari Lampung Timur.
(zai/pmg)