Padang, CNN Indonesia --
Massa yang berasal dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumatera Barat dan berbagai elemen masyarakat sipil lain berunjuk rasa memprotes pembongkaran rumah singgah Bung Karno di Kota Padang, Senin (20/2).
Mereka menggelar aksi unjuk rasa di depan puing-puing bekas bangunan Rumah Singgah Bung Karno tersebut dan menyampaikan tuntutannya. Berbagai macam poster dan spanduk dibawa mereka bertuliskan 'Anak Ideologis Bung Karno Menggugat', 'Buktikan Perkataan Nadiem', dan 'Pemkot Padang Buta Sejarah'.
Selain itu aksi menutup mata oleh beberapa demonstran sambil memegangi foto Wali Kota Padang, Hendri Septa dan kibaran bendera berwarna merah bertuliskan GMNI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nyanyian-nyanyian hingga teriakan Marhaen juga turut meramaikan kegiatan aksi memprotes pembongkaran rumah yang sudah masuk daftar cagar budaya di Jalan Ahmad Yani, Nomor 12, Kelurahan Padang Pasir, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang.
"Hal ini merupakan cara-cara membodohkan anak bangsa dengan menghilangkan bukti fisik sejarah, Penjarakan Pemko Padang beserta jajarannya," kata para orator aksi secara bergantían di depan bekas rumah singgah Presiden pertama RI Sukarno (Bung Karno) itu.
Koordinator aksi Pandu Putra Utama mengatakan bangunan yang sudah rata dengan tanah tersebut merupakan saksi penting bahwa Bung Karno pernah mendatangi Tanah Minang.
"Tapi apa?, sekarang sama-sama kita saksikan rumah tersebut telah rata dengan tanah. Saya katakan bahwa saat ini terjadi pembodohan sejarah di Kota Padang, Sumatera Barat," katanya dengan suara yang lantang dalam aksi itu.
"Padahal Bung Karno adalah seorang tokoh yang berjasa bagi RI dan menjalin hubungan harmonis dengan masyarakat Minang," sambungnya.
Pihaknya mengatakan akan terus mengawal Pemkot Padang untuk mengusut tuntas pembongkaran rumah singgah Bung Karno ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
"Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Bapak [Mendikbudristek] Nadiem Makarim. Kami juga akan menempuh jalur hukum. Sepulang dari sini kami langsung menyurati DPRD Sumbar," sebut Pandu.
Sementara, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Padang Yopi Krislova saat menemui masa aksi mengatakan, Pemkot Padang akan membangun kembali rumah tersebut sesuai dengan bentuk aslinya.
Ia mengonfirmasi rumah singgah Bung Karno itu sudah ditetapkan sebagai cagar budaya Kota Padang dan terdaftar di Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).
"Rumah ini bukan milik Pemkot Padang tetapi milik perorangan, yang bersangkutan juga telah bersedia membangun kembali rumah singgah Bung Karno di lokasi semula," ujar Yopi.
Ia menyebut bangunan rumah singgah itu diruntuhkan pemiliknya dengan dalih ingin membangun kembali dalam bentuk replika sesuai dengan bentuk sejarahnya.
Baca halaman selanjutnya.
Sejarawan Universitas Andalas (Unand) Gusti Asnan mengatakan pembongkaran rumah singgah Bung Karno itu menunjukkan bentuk kelalaian pemerintah kota Padang dalam merawat peninggalan situs cagar budaya.
"Hal itu sangat disayangkan, bangunan yang jadi bukti sejarah yang pernah disinggahi Presiden Indonesia itu dihancurkan," katanya kepada CNNIndonesia.com melalui telepon seluler pada Senin (20/2).
Meskipun akan dibangun kembali replika rumah singgah Bung Karno itu oleh Pemkot Padang setelah ramai diberitakan, Gusti Asnan menyebut nilai sejarahnya tidak akan pernah sama lagi.
Sehingga ia berharap ke depannya Pemko Padang dan pihak terkait dapat menata dan lebih memerhatikan situs kebudayaan secara serius, sehingga tidak terjadi lagi kejadian serupa.
"Seharusnya Pemko maupun pihak yang berkompeten mampu memperhatikan cagar budaya dan benda-benda cagar budaya tersebut dikunjungi dan dibuatkan laporannya kondisi terbarunya, setidaknya dalam tiga bulan sekali," kata Gusti.
Penampakan lahan bekas rumah singgah Bung Karno
Berdasarkan pantauan, rumah singgah Bung Karno di Kota Padang itu telah menjadi lahan kosong dan puing-puing yang masih berserakan di sejumlah titik.
Seng setinggi dua meter menjadi pagar bekas bangunan dengan area berbentuk persegi panjang tersebut. Salah seorang warga mengatakan pembongkaran rumah tersebut dilakukan beberap ahari lalu.
Tulisan cagar budaya yang semula terpajang pun disebutkan menghilang sudah lama sebelum dibongkar beberapa hari lalu.
"Rumah itu dihancurkan dengan alat berat beberapa hari lalu. Dahulu saya pernah melihat palang penanda tulisan cagar budaya, tetapi sudah lama tidak terlihat lagi. " tutur salah seorang warga di sekitar bekas rumah singgah Bung Karno, Rul (65) pada Jumat (17/2).
"Kabarnya, inforrmasi yang saya dengar nanti akan dibuat bangunan bertingkat," tambahnya.
[Gambas:Photo CNN]
Sejarah singkat rumah singgah Bung Karno
Lokasinya berada di Jalan Ahmad Yani, Nomor 12, Kelurahan Padang Pasir, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang. Luas situs bangunan tersebut 290 meter persegi dan luas lahan 800 meter persegi.
Bangunan yang hampir berhadap-hadapan dengan rumah dinas Wali Kota Padang, hanya berjarak satu rumah saja untuk membuat mereka persis berhadap-hadapan. Bahkan salah satu mantan Wali Kota Padang, Fauzi Bahar pernah mendiami rumah tersebut dahulunya.
Sebelumnya, pada 1998 silam, rumah itu masuk dalam bangunan cagar budaya dengan nomor 33/BCB-TB/A/01/2007.
Berdasarkan laman kebudayaan/kemendikbud.go.id, hampir keseluruhan bangunan terbuat dari cor semen. Hanya beberapa bagian ruangan rumah terbuat dari kayu, seperti tiang Serambi, kerangka atap, jendela, dan pintu. Diketahui pemiliknya ketika rumah tersebut didaftarkan menjadi situs bangunan budaya yaitu Ema Idham.
Rumah hunian dengan gaya lokal itu dulunya diketahui dimiliki salah seorang dokter hewan asal Manado, Carel Zet Waworontu.
Sukarno tinggal di rumah itu selama tiga bulan pada 1942 silam, sebelum tentara Jepang menduduki Kota Padang.
Dia tinggal di sana ketika menjadi tahanan Belanda di Bengkulu lalu dipindahkan saat Jepang datang.
Mulanya Sukarno direncanakan untuk diungsikan Belanda ke Kota Cane atau Aceh melalui jalur laut.
Belanda menyebrangi lautan di pesisir Painan untuk sampai ke Aceh dan mendengar kabar bahwa tentara Jepang sudah berada di Bukittinggi. Mendengar kabar itu, Belanda mengubah rencana sehingga meninggalkan Sukarno di Painan.
Momen itu kemudian dimanfaatkan tokoh Muhammadiyah untuk menjemput Bung Karno ke Padang.
Merujuk dari buku biografi berjudul Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Bung Karno bersama istri dan dua orang anaknya tinggal di rumah Waworuntu setelah sempat menginap di beberapa rumah lain.
Tentara Jepang kemudian mengetahui keberadaan Bung Karno di Padang itu lalu diundang Panglima Tertinggi AD ke-25 Jepang, Kolonel Fujiyama ke Bukittinggi untuk membicarakan berbagai hal, termasuk kemerdekaan Indonesia.
Selama Bung Karno di Padang, kota itu menjadi pusat aktivitas sosial politik dan basis perjuangan nasionalis di Sumbar.