Aspal berlubang menghiasi sepanjang Jalan Jenderal Gatot Subroto, yang mengarah dari Kuningan menuju Cawang, Jakarta Timur. Kondisi serupa juga terjadi di jalan yang mengarah sebaliknya.
Lubang-lubang ini juga terlihat ada di Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Bak jamur di musim hujan, lubang tersebut muncul di sejumlah jalanan Ibu Kota.
Kondisi jalan berlubang yang banyak muncul ini tak terlepas dari pemeliharaan aspal yang dikerjakan penyelenggara jalan, dalam hal ini Dinas Bina Marga DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kerap terjadi dugaan praktik culas antara pemerintah dengan kontraktor yang membuat kualitas aspal di bawah standar dan jalanan cepat rusak. Aspal jalan pun menjadi mudah terkelupas dan berlubang.
Salah satu kontraktor jalan yang tak mau disebutkan namanya bercerita kecurangan berawal dari proses tender pembangunan jalan. Biasanya ada kesepakatan di bawah meja antara pihak penyelenggara jalan dengan kontraktor.
"Ada tiga skenario. Pertama, pemerintah open tender untuk memenangkan kontraktornya. Kedua, kontraktor punya koneksi dengan orang dalam pemerintah. Ketiga, pihak kontraktor melakukan suap atau bayar orang dalam biar bisa menang," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (2/3).
Dia mengatakan kesepakatan ini membuat pejabat berwenang dan kontraktor mengutip anggaran dengan jumlah yang variatif, tergantung besarnya proyek pembangunan jalan.
"Misalnya satu kilometer anggarannya Rp500 juta untuk rehabilitasi aspal, kemudian diambil 30 persen untuk pihak penyelenggara jalan dan kontraktor. Kan, untungnya bisa Rp150 juta," ujarnya.
Menurutnya, keuntungan yang bisa diraih kedua belah pihak bisa mencapai angka triliunan saat mengerjakan proyek untuk jalan-jalan nasional strategis, khususnya untuk jalan tol yang panjangnya berkisar 50-100 kilometer.
"Uang yang dihasilkan kedua belah pihak bisa lebih dari Rp150 juta. Mungkin mencapai triliunan tergantung seberapa panjang jalannya. Selevel jalan tol yang panjangnya bisa 60 kilometer bisa mencapai triliunan," katanya.
Selain itu, kata dia, pihak kontraktor juga acap kali memberikan servis kepada penyelenggara jalan setelah menang tender. Servis tersebut dimaksudkan agar tercipta diskusi di balik layar untuk memberi keuntungan kepada kedua belah pihak.
"Banyak banget praktiknya, misalnya ketika menang tender pihak kontraktor itu meeting dan memberi servis di tempat yang tidak terekspose media. Contoh di bar, karaoke, bahkan tempat pijat untuk mendiskusikan bagaimana mereka bisa untung," ujarnya.
Menurutnya, pertemuan 'di tempat gelap' tersebut juga untuk menyatukan komitmen dan tidak mengkhianati satu sama lain saat ada audit atau inspeksi. Kedua belah pihak tak ingin ada yang menikam dari belakang meski sudah terjadi kesepakatan.
"Agar mereka tidak saling mencederai satu sama lain. Akan tetapi, pada akhirnya banyak yang ketahuan. Kadang ada juga satu pihak yang mencurangi pihak lain dengan cara mengakali perjanjian tidak tertulis di antara kedua belah pihak, hal itu yang mengakibatkan akhirnya ketahuan dan tertangkap," katanya.
Ia mengungkap para kontraktor juga kerap bermain sendiri untuk meningkatkan margin dan profit saat mendapatkan proyek pengaspalan. Meskipun sudah melakukan supervisi, menurutnya kemungkinan kecurangan tetap ada.
"Sebab, dalam strata proyek, kontraktor itu hirarki paling rendah. Padahal, risiko kontraktor itu tinggi. Misalnya, terkait cuaca, insiden, proyek telat, alat, material, dan harus menambah orang di lapangan. Jadi, kontraktor itu harus memastikan margin dan profitnya besar karena risiko tersebut," ucapnya.
Dugaan praktik culas ini, kata dia, dilakukan dengan menurunkan mutu material aspal, sehingga kualitas jalan yang harusnya bisa tahan 4 tahun jadi hanya bertahan 2 tahun.
"Biasanya uang lari ke kontaktornya sendiri untuk alokasi kontraktor biar margin-nya lebih besar. Di Indonesia, pada umumnya yang saya lihat memang pengurangan mutu dijalankan oleh kontraktor yang ingin untung besar," katanya.
Dia lantas memberi contoh pengutipan dana dengan menggunakan bahan material yang tidak sesuai peruntukan jalan.
"Misalkan harus menggunakan beton K 450, tapi yang dipakai hanya K 350 itu harganya sudah sangat signifikan. Contoh, harga beton K 450 bisa Rp2,2 juta per meter kubik, tapi karena pakai K 350 jadi cuma Rp1,8 juta. Bayangkan jika dikali panjang jalan 1 kilometer, sudah pasti marginnya besar," ujarnya.
Ia juga mengungkap ada material yang berpotensi dikutip. Di antaranya, semen, tulangan, besi kerikil. Oleh sebab itu, menurutnya, ada multiplier effect yang disebabkan dari pengurangan mutu.
"Pengurangan mutu disebabkan adanya deviasi antara yang sudah direncanakan dan eksekusinya. Kenapa laporannya sudah oke tapi di lapangan jadinya jelek? Karena hasil lapangan tidak sesuai dengan yang direncanakan," ujarnya.