Jakarta, CNN Indonesia --
Publik dibuat tercengang dengan putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda tahapan Pemilu 2024.
Putusan ini merupakan konsekuensi PN Jakarta Pusat yang mengabulkan seluruh gugatan perdata Partai Rakyat Adil dan Makmur (PRIMA) terhadap KPU.
"Mengadili, menghukum tergugat [KPU] untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini dibacakan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari," demikian amar putusan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengadilan menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Putusan itu berawal ketika Partai PRIMA merasa dirugikan oleh KPU dalam melakukan verifikasi administrasi partai politik yang ditetapkan dalam Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu. Pasalnya, akibat verifikasi KPU tersebut, Partai PRIMA dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual.
Dalam gugatannya, Partai PRIMA mencermati jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan TMS, ternyata juga dinyatakan Memenuhi Syarat (MS) oleh KPU dan hanya ditemukan sebagian kecil permasalahan.
Partai PRIMA menyebut KPU tidak teliti dalam melakukan verifikasi yang menyebabkan keanggotaannya dinyatakan TMS di 22 provinsi.
Terkini, Pihak KPU lantas mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Pusat ini.
Parpol hingga pakar hukum tata negara pun bersuara mengenai putusan PN Jakarta Pusat itu. Bahkan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin menduga putusan itu kian membenarkan asumsi yang mencurigai masih ada kelompok yang menghendaki Pemilu 2024 ditunda.
"Suasana kacau ini makin membenarkan asumsi publik bahwa masih saja ada kekuatan yang menghendaki pemilu 2024 ditunda," ucap politikus PKB itu dalam keterangannya, Kamis (2/3).
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai putusan PN Jakarta Pusat ini sebagai cerminan manuver pihak yang ingin menunda pemilu atau memperpanjang jabatan presiden di Indonesia masih terus bergulir.
"Saya juga berpikiran ini masih ada upaya pihak-pihak untuk menunda pemilu. Penundaan pemilu ini secara politis masih mengemuka hanya dengan manuver yang berbeda," kata Wasisto kepada CNNIndonesia.com, Jumat (3/3).
Wasis sependapat putusan PN Jakarta Pusat jadi puncak wacana penundaan pemilu yang kerap digaungkan oleh pelbagai pihak selama ini menjadi kenyataan.
Ia mengatakan pelbagai aspirasi yang ingin menunda pemilu seakan mendapatkan legitimasinya dengan putusan pengadilan tersebut.
"Usaha merevitalisasi wacana penundaan pemilu tentu pada akhirnya bertujuan menciptakan konstruksi narasi bahwa aspirasi penundaan pemilu itu merata," kata dia.
Terpisah, Pengamat politik dari Universitas Esa Ungguli Jamiluddin Ritonga berpendapat putusan pengadilan ini menandakan upaya para petualang politik terus mencari celah untuk menunda Pemilu.
"Hal itu mereka lakukan untuk dapat lebih lama mempertahankan kekuasaan," kata Jamiluddin.
Jamiluddin menilai bila berkuasa lebih lama, tentu akan dibarengi dengan pengumpulan kapital yang besar. Ia mengatakan kondisi ini terjadi karena keuntungan dari modal awal yang dikeluarkan belum memadai.
"Karena itu, segala cara akan dilakukan agar pemilu dapat ditunda. Semua cara akan dijadikan justifikasi dalam menunda pemilu. Hal itu akan terus mereka lakukan hingga pemilu dapat ditunda," kata dia.
Melihat ini, Jamiluddin lantas meminta masyarakat untuk mengawasi gerakan para pihak yang ingin menunda pemilu ini. Baginya, kondisi demikian sudah merusak demokrasi di Indonesia.
"Kelompok ini dikhawatirkan akan memanfaatkan putusan PN Jakarta Pusat tersebut," kata dia.
Baca halaman selanjutnya
Sementara itu, pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai PN Jakarta Pusat tidak mempunyai wewenang untuk menunda tahapan Pemilu 2024 secara nasional.
Dia menyatakan PN Jakarta Pusat telah menentang konstitusi terkait putusan perkara tersebut.
"Tidak diperkenankan pengadilan negeri memutuskan untuk menunda Pemilu karena itu bukan yurisdiksi dan kewenangannya, tidak dimungkinkan untuk itu berdasarkan prinsip dan ketentuan di konstitusi," ujar Feri kepada CNNIndonesia.com, Kamis (2/3).
Feri menilai putusan PN Jakarta Pusat menunda tahapan penilu sebagai ancaman bagi demokrasi di Indonesia.
"Saya melihat memang ini ancaman bagi kita semua, demokrasi kita bisa terganggu kalau ada pengadilan negeri atau pengadilan bisa melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945," kata akademisi dari Universitas Andalas itu.
Kronologi wacana penundaan pemilu sejak 2021
Sejatinya, wacana penundaan pemilu hingga perpanjangan masa jabatan presiden sudah berlangsung sejak 2021 silam. Wacana itu bahkan muncul dari mulut pembantu presiden dan partai di dalam koalisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin.
Pada November 2021, Menteri Investasi atau Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan tunda pemilu 2024 sebagian merupakan usulan dari pengusaha untuk memulihkan ekonomi pascapandemi Covid-19. Pihak Istana Kepresidenan lalu buru-buru mengoreksi dengan menegaskan pernyataan Bahlil itu bukanlah sikap Jokowi.
Selain itu beberapa hari kemudian KSP menegaskan Jokowi tak ingin perpanjangan masa jabatan presiden atau pun tiga periode.
Wacana itu tak berhenti, pada Februari 2022, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) muncul mengusulkan agar pemilu ditunda dua tahun. Hampir senada Bahlil, Cak Imin yang juga Wakil Ketua DPR itu menggunakan pula dalih pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Suara partai politik, terutama di dalam koalisi pemerintahan Jokowi dan di DPR, pun terbelah menyikapi usulan wacana penundaan pemilu itu. Sementara Cak Imin dalam keterangannya pada 26 Februari 2022 mengklaim dari analisa big data perbincangan media sosial terhadap 100 subyek akun, sebanyak 60 persen mendukung penundaan pemilu dan 40 persen menolak.
[Gambas:Photo CNN]
Berbeda dengan klaim Cak Imin, hasil survei LSI yang dirilis pada 3 Maret 2022 malah mendapati mayoritas masyarakat menolak wacana penundaan Pemilu 2024 maupun memperpanjang masa jabatan presiden. Setidaknya 70-75 persen responden LSI menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dengan dalih pemulihan ekonomi karena pandemi hingga memastikan proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang baru di Kalimantan Timur.
Hasil survei yang tak jauh berbeda ditemukan LSN yang dirilis dalam waktu berdekatan, di mana mayoritas respondennya menolak wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Wacana itu belum pupus seutuhnya, pada bulan yang sama pada 2022 silam Menko Marves yang juga dikenal sebagai 'tangan kanan' Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap big data yang mendukung penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Lewat klaim big data itu, Luhut menyatakan penundaan Pemilu 2024 sah-sah saja jika telah ditetapkan oleh MPR.
Hingga 5 April 2022 di istana, Jokowi memerintahkan para menteri untuk setop bicara penundaan pemilu. Hal itu ia sampaikan dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (5/4).
Pernyataan itu ia sampaikan setelah sejumlah menteri sibuk mewacanakan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Menteri-menteri tersebut adalah Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Lalu di ujung tahun 2022, Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto mengatakan kajian pihaknya melihat wacana penundaan pemilu yang mencuat beberapa waktu belakangan tidak didukung modalitas politik.
Sementara itu para pengamat, pakar hukum tata negara, aktivis, hingga ormas pun bersuara wacana penundaan pemilu. PP Muhammadiyah salah satunya, yang pada 26 Februari 2022 meminta agar elite parpol di Indonesia menyudahi gaduh polemik usulan penundaan Pemilu 2024. Wacana itu sebelumnya disebut akan beriringan dengan potensi masa jabatan presiden yang diperpanjang.
[Gambas:Infografis CNN]
Kekinian wacana penundaan pemilu itu hidup lagi karena putusan PN Jakpus terhadap gugatan Partai PRIMA.
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) mengabulkan gugatan Partai Prima dengan memutuskan menunda tahapan Pemilu 2024 hingga Juli 2025.
Putusan tersebut membuat penyelenggaraan Pemilu 2024 terancam gagal terlaksana sesuai jadwal alias tertunda.
Keputusan ini berawal dari gugatan perdata Partai Prima kepada KPU pada 8 Desember 2022 lalu dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. PN Jakpus mengeluarkan putusan pada Kamis lalu.
Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan putusan PN Jakpus yang memerintahkan KPU menunda tahapan Pemilu 2024 harus dilawan. Ia mendukung KPU mengajukan banding atas putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan Partai Prima itu.
"Kita harus melawan secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul," kata Mahfud dalam unggahannya di akun Instagram @mohmahfudmd, Kamis (2/3).
KPU pun sudah menyatakan akan mengajukan banding atas putusan PN Jakpus itu.