Harta Jumbo Rafael dan Kritik Korpri untuk ASN Sultan di Kemenkeu
Nama pegawai eselon III Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo (RAT) menjadi bahan perbincangan hangat dalam beberapa pekan terakhir terkait dugaan harta jumbo yang dilaporkan dan tak dilaporkannya ke Laporan Harta dan Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) di KPK.
Belakangan, baru diketahui ternyata Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mengendus transaksi janggal Rafael sejak setidaknya sedekade lalu, dan telah disampaikan pula ke pihak terkait untuk ditindaklanjuti. PPATK juga mengendus transaksi-transaksi janggal dengan nilai total sekitar Rp300 triliun yang melibatkan setidaknya 460 pegawai Kemenkeu.
Hal itu pun menyorot kembali polah culas pegawai Kemenkeu seperti yang pernah dilakukan Gayus Tambunan satu dekade lalu dan Angin Prayitno beberapa waktu lalu.
Kasus-kasus yang menimpa para pegawai Kemenkeu menjadi ironi tersendiri karena mereka mendapat tunjangan kinerja dan remunerasi tertinggi di kalangan aparatur sipil negara (ASN) institusi dan lembaga lain. Muncul pula anekdot PNS di Kemenkeu adalah 'ASN Sultan'.
Disparitas penghasilan didapat itu akhirnya itu menjadi pembahasan di lingkungan Korpri. Korpri adalah satu-satunya wadah untuk menghimpun seluruh Pegawai Republik Indonesia baik PNS, Pegawai BUMN, bahkan Aparatur Desa.
Pada sebuah webinar bertajuk 'ASN Sultan & Pendapatan Timpang' yang digelar Jumat (9/3), jurang pendapatan PNS itu dibahas secara spesifik.
Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional Zudan Arif Fakrulloh mengaku soal pendapatan para pegawai Kemenkeu yang lebih besar dibandingkan pegawai negeri di instansi dan lembaga lain itu menjadi bahasan hangat di lembaganya beberapa waktu terakhir.
Umumnya, kata dia, pertanyaan utama yang muncul adalah, 'mengapa pendapatan pegawai Kemenkeu di pusat menjadi begitu tinggi?'. Itu, kata dia, menjadi sebuah diskursus yang menarik dan menjadi bahan perbincangan intens di kalangannya setidaknya selama dua pekan terakhir.
"Ada yang menyampaikan pada saya begini, 'Pak tunjangan kinerja itu disusun berdasarkan profil risiko. Semakin berisiko kinerjanya, semakin besar tunjangan kinerjanya'," kata Zudan membuka penjelasannya dalam webinar yang diakses dari Youtube Dewan Pengurus Korpri Nasional, Senin (13/3).
Menurut Zudan, alasan tersebut sama dengan nirempati dan tidak memiliki kepekaan sosial. Ia kemudian membandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan berisiko tinggi seperti tenaga kesehatan yang berjuang semasa pandemi Covid-19.
"Kalau berpikir risiko, tentu kita melihat teman-teman yang bekerja di sektor kesehatan: dokter, bidan, perawat yang bekerja di RS; PNS yang bekerja di RS itu risikonya besar," kata Zudan.
"Dia bergulat dengan penyakit, risikonya adalah nyawa. Ternyata tunjangan kinerjanya tidak setinggi Direktorat Jenderal Pajak," imbuhnya.
Dia pun mengaku pihaknya melihat literatur-literatur yang membicarakan dan mengkaji soal 'equal work, equal pay' untuk mencari batu penjuru untuk reformasi total pola mutasi, promosi, hingga sistem penggajian ASN.
Rombak sistem penggajian pegawai negeri
Melalui penjabarannya tersebut, Zudan menyoroti pola sistem penggajian yang dinilainya belum adil dan tidak merata di setiap lembaga kenegaraan di seluruh Indonesia.
Dalam artian, lembaga kenegaraan di pusat, kata Zudan, memiliki kecenderungan untuk mengatur sistem penggajian secara mandiri dengan nominal jauh lebih besar.
"Satu hal yang cara berpikirnya berbeda dengan pengambil kebijakan sekarang: Diberi tunjangan kinerja tinggi karena merupakan Kementerian Lembaga atau Organisasi Perangkat Daerah (OPD) penghasil, misalnya begitu," kata pria yang dikenal sebagai Dirjen Dukcapil Kemendagri tersebut.
"Nah itu kan sangat materialistik. Selalu dikaitkan dengan ekonomi sentris. Uang, uang, dan uang. Belum memikirkan hal-hal lain yang strategis untuk pengembangan sebuah bangsa," sambungnya. "Ini kesannya, ASN itu didorong menuju satu pola pemikiran yang sifatnya materialisme."
Oleh karena itu, Zudan mewakili Korpri pun mendesak perombakan sistem penggajian yang berskala nasional.
Jika hal itu sudah diatur secara menyeluruh, maka faktor ketimpangan pendapatan akan dapat diberantas secara berkala. Hal itu juga, menurut Zudan, dapat mengurangi faktor kecemburuan yang timbul dari ASN di pusat dan daerah.
"Harus ada komite penggajian nasional yang ditetapkan oleh Bapak Presiden. Di situ mengatur sistem penggajian nasional, termasuk mengatur faktor risiko," kata Zudan.
Pada kegiatan yang sama, Deputi Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Haryomo Dwi Putranto yang hadir sebagai salah satu pembicara menjelaskan skala sistem yang dipakai lembaga dalam membayar hak kepada pegawai di RI..
Sebagai pihak yang merancang sistem penggajian tenaga kerja di Indonesia, Haryomo, mengatakan terdapat tiga model skala yang dipakai dalam menentukan sistem penggajian di Indonesia. Untuk ASN maupun PNS di Indonesia saat ini, kata dia, skala yang digunakan adalah skala gabungan.
Skala gabungan, merujuk dari penjelasan Haryomo menentukan nominal gaji pokok yang sama bagi pegawai satu golongan. Namun dalam skala gabungan ini, terdapat perbedaan besaran tunjangan yang ditentukan berdasarkan risiko dan tanggung jawab pekerjaan.
"Nah tunjangan kinerja inilah yang saat ini, mungkin, menjadi permasalahan. Kenapa kok tunjangan kinerjanya tidak sama?" kata Haryomo.
"Nah kembali tadi ke konsep keadilan. Ini kita harus samakan dulu persepsinya. Yang dimaksud adil itu yang bagaimana?" sambungnya. "Yang tidak sama pun bisa jadi tidak adil, kalau gap-nya terlalu besar. Nah ini yang mungkin menjadi PR kita bersama."