Senyum manis Tini terhias di wajahnya kala melihat puluhan warga berkumpul di tenda sederhana yang berdiri di lapangan Kampung Adat Ratenggaro, Desa Maiti Bondo Ate, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, Minggu (12/3).
Usahanya berhasil untuk meyakinkan warga mengikuti program vaksinasi Covid-19. Tak mudah mengajak warga di Nusa Tenggara Timur khususnya di Sumba Barat Daya untuk mendapat vaksin.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya vaksinasi Covid hingga berita hoaks menjadi salah satu faktor penghambat warga mengikuti program tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tini merupakan project officer dari Circle of Imagine Society (CIS) Timor, organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang pelayanan kemanusiaan di Nusa Tenggara Timur. Organisasi ini berkolaborasi dengan Save The Children dan Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) sebagai penyokong dana, membuat program percepatan dan perluasan jangkauan vaksin di Indonesia.
Dengan target kelompok rentan seperti disabilitas dan lansia yang memiliki risiko kematian akibat Covid-19 cukup tinggi, tentu saja program tersebut melibatkan pemerintah daerah sebagai penyedia vaksin.
Di NTT total capaian vaksinasi lengkap untuk lansia masih 49,43 persen. Capaian ini akan semakin mengecil jika diukur dari capaian vaksinasi booster atau dosis tiga karena capaian untuk vaksinasi dosis tiga pada lansia di NTT masih 12,85 persen.
Berbekal menjalin komunikasi dan pendekatan dengan kepala lembaga adat Desa Ratenggaro untuk meyakinkan warganya mendapatkan vaksin, 400 orang menjadi target acara siang itu.
Momen Pasola yakni upacara ritual Marapu, memberi sesajen di kubur leluhur disertai permainan ketangkasan 'perang' tombak dengan berkuda khas masyarakat Sumba, dimanfaatkan menjaring warga untuk melakukan vaksinasi. Hal itu lantaran pada waktu Pasola, warga yang tinggal jauh dari rumah besar atau Uma Manara akan datang demi mengikuti ritual tersebut.
"Saat Pasola, warga 'mudik' untuk mengikuti ritual. Di sini kita manfaatkan momen tersebut agar banyak warga yang terjaring mendapatkan vaksin. Kita juga melakukan pendekatan kepada kepala adat hingga pemuka agama agar warga teryakini mengikuti vaksin," ujar Tini.
Masalah lambatnya penyebaran vaksin di daerah pelosok seperti di desa-desa Kabupaten Sumba Barat Daya bukan menyoal hanya pada rendahnya kesadaran masyarakat terhadap vaksin. Akses jalan menuju layanan kesehatan atau tempat vaksin yang sulit dijangkau masyarakat juga menjadi penambah rendahnya angka vaksin.
Seperti halnya Christina, salah satu warga Desa Ate Dalo, harus menempuh perjalanan tujuh kilometer dengan jalan yang rusak untuk memperoleh vaksin. Lansia itu juga membutuhkan biaya transport yang tinggi menuju Puskesmas Walla Ndimu Kecamatan Kodi Pangedo, layanan kesehatan terdekat dari desanya.
Sudah tiba di balai, belum tentu juga warga bisa mendapatkan suntikan vaksin. Salah satu hambatan lainnya yakni persediaan stok vaksin yang terbatas, juga perbedaan platform vaksin antara dosis pertama dengan dosis selanjutnya membuat warga gagal mendapat vaksin. Hal itu membuat warga enggan datang ke puskesmas karena ketidakpastian stok vaksin.
"Misal ada yang sudah vaksin pertama mendapat covovax, sementara dia mau dosis kedua yang tersedia vaksinnya hanya pfizer kan tidak bisa. Itu juga jadi kendala. Sudah datang jauh-jauh, mengeluarkan uang yang besar, tapi vaksinnya tidak ada atau tidak cocok," kata Kepala Pusekesmas Walla Ndimu Debora Kaka.
Sementara untuk program jemput bola alias mendatangi satu per satu warga atau desa, jumlah tenaga kesehatan juga terbatas. Debora mengaku sangat terbantu dengan adanya pihak-pihak yang membantu untuk mempercepat dan memperluas cakupan vaksin.
"Kami sangat terbuka untuk kerja sama dengan pihak manapun. Terlebih lagi jika ada pihak yang mendukung capaian vaksinasi Covid-19 di wilayah kerja kami. Karena selama ini, kendala kami di lapangan adalah memobilisasi sasaran untuk mendapatkan vaksinasi. Kami sangat senang jika ada pihak yang membantu kami meningkatkan sasaran vaksinasi," ujar Debora.
Debora menyebutkan untuk wilayah Puskesmas Walla Ndimu, ada 8000 orang yang menjadi sasaran vaksinasi. Sementara hanya 2787 orang yang telah di vaksin dosis pertama, 2264 untuk dosis kedua, 2244 dosis ketiga.
"Mereka ingin vaksin karena butuh menjadi syarat utama perjalanan, selebihnya yang belum mendapat vaksin karena kesadaran masyarakat yang rendah ditambah berita hoaks tentang vaksin, membuat warga tidak mau divaksin," ungkapnya.