Sebanyak 20 pekerja migran Indonesia atau TKI menjadi korban perdagangan manusia di wilayah konflik di Myanmar. Mereka diduga mengalami penyiksaan dengan cara disetrum maupun dilempar kursi.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) melaporkan kasus ini ke Komnas HAM pada Jumat (31/3). SBMI juga telah melaporkan perkara ini ke beberapa pihak terkait, namun belum ada perkembangan signifikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno mengatakan 20 pekerja migran Indonesia di Myanmar jadi korban perdagangan manusia, dieksploitasi, dan disiksa.
"Eksploitasinya yang paling miris adalah penyetruman. Para korban bekerja di online scam, mereka harus memiliki target kerja. Kalau tidak memenuhi target, korban disetrum," ujar Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno di Kantor Komnas HAM.
Ia juga mengaku telah mengantongi bukti penyetruman berupa foto yang diperoleh dari keluarga korban.
"Kalau melihat ini (bukti) ada alat yang digunakan (stun gun) untuk menyetrum. Satu lagi ada yang langsung atau spontan menggunakan kabel listrik," kata dia.
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan para korban telah bekerja sebagai buruh migran sejak Oktober 2022.
"Mereka (korban) mengalami situasi yang darurat karena penyiksaan dengan disetrum, dipaksa push up, dilempar kursi, dan berbagai kekerasan setiap hari," ujar Anis di Kantor Komnas HAM, Jumat (31/3).
Dia mengatakan para korban terindikasi dijualbelikan dari satu perusahaan ke perusahaan lain ketika target perusahaan tidak terpenuhi.
"Komunikasi korban dengan keluarga selama ini sangat terbatas karena bekerja 16 jam, bahkan lebih. Beberapa kondisi yang sangat buruk, mendapatkan intimidasi setiap hari," tuturnya.
Anis mengatakan pihaknya menerima hampir 200 pengaduan terkait pekerja migran yang menjadi korban di berbagai wilayah Asia Tenggara, seperti Kamboja, Myanmar, Thailand, Laos, dan Filipina sejak Desember 2022.
"Kasus ini sebenarnya sejak bulan lalu (Februari) sudah masuk ke mekanisme pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM. Sehingga, nanti kami akan melakukan memanggil pihak-pihak dan mencari fakta-fakta di lapangan sesuai mandat Komnas HAM," kata dia.
Berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 1999 tentang hubungan luar negeri dan UU Nomor 18 Tahun 2017, kata Anis, para korban harus segera dievakuasi. Komnas HAM juga akan meminta agar kasus ini bisa segera ditindaklanjuti pemerintah.
"Karena dalam situasi negara konflik, evakuasi korban harus dilakukan sesegera mungkin sesuai dengan kewenangan hukum internasional yang berlaku," ucap Anis.
Menurutnya, pihaknya mendorong pemerintah bekerja sama dengan pemerintah Myanmar untuk memberi perlindungan korban melalui evakuasi secepatnya lewat penegak hukum.
"Proses penegakan hukum melalui kepolisian, Interpol dan lain sebagainya. Karena ini kasus sudah cukup lama, sekitar 1.200 pekerja imigran yang menjadi korban scamming sepanjang 2 tahun terakhir," ujar Anis.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Pengaduan Komnas HAM Hari Kurniawan mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan Bareskrim Polri.
"Karena belum ada satupun yang ditetapkan sebagai tersangka. Kami sudah memberitahukan ada beberapa nama yang memang harus dijadikan tersangka, termasuk di kasus terakhir ini ada di Bekasi," ujarnya.
Ia memastikan Kemlu dan Bareskrim menindaklanjuti laporan tersebut agar para korban bisa segera dipulangkan ke Indonesia.
"Komnas HAM sudah berkoordinasi dengan pihak terkait. Hal ini akan kami sampaikan ke Menteri Luar Negeri Retno Marsudi," kata dia.
Hariyanto menduga pelaku perdagangan orang yang membawa korban ke Myanmar, kini berada di Bekasi. Dia berharap aparat segera menangkap pelakunya.
"Bisa kami katakan bahwa pelakunya ada di wilayah Bekasi yang harusnya kemudian segera untuk ditangkap. Karena bukan 1 atau 2 korban, bahkan puluhan dan ratusan yang mereka tempatkan," ujar Hariyanto.
Ia mengatakan pemerintah harus segera memulangkan para korban secepatnya. Pasalnya, para pelaku masih merekrut calon korban di tempat-tempat lain.
Menurutnya, korban awalnya teriming-iming gaji besar lantaran terdampak pandemi Covid-19 dan kehilangan pekerjaan di Indonesia.
(psr/pmg)