Pada masa 1900-an silam, masyarakat Sumedang mengenalnya dengan sebutan Ibu Perbu atau Ibu Ratu. Ia dikenal sebagai sosok perempuan dari tanah seberang yang pandai dalam syiar Islam.
Kesehariannya, ia mengajar mengaji Alquran dan hukum-hukum Islam di rumah tinggal yang ia tempati. Selama itu pula, identitasnya sebagai pejuang perempuan dari Aceh tidak diketahui masyarakat Sumedang.
Identitas sosok perempuan itu baru terkuak pada 1959 atau sekitar 50 tahun usai ia wafat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sosok itu adalah Cut Nyak Dien.
![]() |
Cut Nyak Dien diasingkan oleh Belanda ke Sumedang pada Desember 1906.
Ia datang ditemani dengan seorang anak laki-laki berusia 15 tahun bernama Teuku Nana dan seorang panglima berusia 50 tahun.
Setibanya di Sumedang, Cut Nyak Dien diterima oleh Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suria Atmadja alias Pangeran Mekah yang kemudian menempatkannya di rumah seorang imam Masjid Besar Sumedang bernama H. Ilyas.
Juru pelihara sekaligus keturunan dari H Ilyas, Nenden (56) menerangkan, rumah itu sedari dulu merupakan rumah pribadi, bahkan sebelum kehadiran Cut Nyak Dien.
"Lebih duluan dimiliki ketimbang diketemukan secara situs. Lalu kenapa ini dibikin situs? Karena kan Cut Nyak kan di Sumedang kira kira dua tahun dan pihak pemerintah berpikir, berarti Cut Nyak pernah dirumahkan terus dicari-cari dan ditemukan di 1980-an," ujar Nenden ketika ditemui CNNIndonesia.com di lokasi, Kamis (23/3).
Ia mengenang masa saat ia kecil di mana neneknya kerap menceritakan terdapat perempuan yang tinggal di rumahnya.
"Kalau cerita nenek, dulu ada ibu ratu datang dari seberang sana digendong sama laki-laki muda udah dalam keadaan enggak melihat," kata dia.
Neneknya menuturkan dalam kesehariannya, Cut Nyak Dien menghabiskan waktunya dengan mengajarkan mengaji kitab suci Alquran.
Saat itu, kondisi matanya rabun, tetapi hal ini tidak melunturkan semangatnya untuk terus mengajar.
"Saat itu rabun masih ngajar, sampai beliau wafat," ucapnya.
Kini rumah bernuansa kayu itu berada tepat di hadapan kedai kopi kekinian di Jalan Pangeran Soeriaatmadja, Sumedang. Di bagian depan rumah, tertancap plang putih yang bertuliskan "Bekas Rumah Tinggal Pengasingan Cut Nyak Dien Sumedang,".
Di bagian dalam rumah, terpampang dengan gagah foto sosok Cut Nyak Dien yang masih muda, di bagian bawahnya terdapat foto Cut Nyak Dhien kala ditangkap Belanda di Beutong Ateuh.
Nenden menerangkan, ia mendapatkan kedua foto itu dari arsip Asia Tenggara Universitas Leiden, Belanda (KITLV). Terdapat sedikit kerusakan di bagian dalam rumah yang mayoritas menggunakan kayu itu. Terdapat lantai kayu yang tidak bisa dilangkahi lantaran takut hancur jika diinjak.
"Minta doanya, lihat ini disimpan di sini untuk menutupi karena udah enggak bisa diinjak, lagi rusak," ujar Nenden.
![]() Bekas rumah tinggal Cut Nyak Dhien, saat diasingkan di Sumedang, Kamis, 23 Maret 2023. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono |
Setelah diasingkan dan tinggal di rumah itu selama kurang lebih dua tahun, Cut Nyak Dien pun menghembuskan napas terakhirnya. Ia wafat pada 6 November 1908 dan dimakamkan di kompleks pemakaman Gunung Puyuh, Sumedang.
Kompleks pemakaman ini merupakan kompleks makam bagi para bupati atau keturunan Kerajaan Sumedang. Salah satunya, makam mantan Bupati Sumedang Pangeran Soeria Kusuma Adinata alias Pangeran Sugih.
Selayaknya identitasnya yang baru terungkap pada 1959, makamnya pun baru ditemukan pada tahun yang sama. Selama kurang lebih 50 tahun usai wafat, makam ini memang sengaja dirahasiakan oleh penjajah belanda.
Hingga akhirnya, Gubernur Aceh kala itu Ali Hasan menginstruksikan untuk mencari makam pejuang hebat dari Aceh itu. Setelahnya, Presiden Sukarno melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 1964 menetapkan Cut Nyak Dien sebagai Pahlawan Nasional pada 2 Mei 1962.
![]() |