Komnas Perempuan menganggap pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) masih terhambat karena muatan politik agama di revisi Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam Laporan Kerja Komnas Perempuan Tahun 2022 yang dirilis 6 April 2023, mereka menduga sejumlah muatan KUHP yang disahkan pada Desember lalu, tidak terlepas dari kecenderungan elite politik pada kepentingan agama tertentu.
"Revisi KUHP juga masih memuat sejumlah persoalan mendasar lain yang dapat menghambat pemajuan hak asasi manusia dengan kerugian yang spesifik bagi perempuan," demikian dikutip dari laporan tersebut, Kamis (13/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Muatan revisi KUHP - khususnya terkait perluasan definisi zina, larangan kohibitasi dan kriminalisasi berlebihan pada isu pendidikan reproduksi - juga menunjukkan bagaimana isu agama masih digunakan untuk pertarungan kuasa baik oleh elite politik," kelanjutannya.
Dalam laporannya, komnas memandang sejumlah poin di revisi KUHP hanya akan menggerus hak privasi dan otonomi perempuan. Komnas Perempuan menyoroti potensi kriminalisasi karena terhadap pasangan sukarela di luar perkawinan karena perluasan pasal zina dalam KUHP.
Kemudian, terkait pasangan yang melakukan kohibitasi atau tinggal bersama dapat dipidanakan. Pun menyoal hak atas pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi dapat dikriminalisasi.
Komnas Perempuan juga menyoroti soal kebijakan diskriminatif pada 2022 silam yakni 305 buah. Jumlah itu sebetulnya turun dari beberapa tahun sebelumnya, yakni 421 di tahun 2016.
"Tetapi tetap sekurangnya ada 35 daerah baru yang menerbitkan kebijakan diskriminatif serupa di tahun 2021 dan 20 lainnya di tahun 2022," demikian dikutip dari laporan mereka.
Lihat Juga : |
Komnas Perempuan tidak sepenuhnya menafikkan seluruh muatan KUHP baru itu, karena masih terdapat poin positif di dalamnya.
Beberapa di antaranya adalah mengurangi ancaman pidana bagi perempuan lantaran melantarkan bayinya, dan membatalkan pasal 27 UU ITE yang rentan digunakan untuk mengkriminalisasi korban kekerasan seksual.
Sebelumnya, UU TPKS yang disahkan DPR pada 13 April 2022, melalui Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.
UU ini memiliki kaitan dengan KUHP yang disahkan pada 6 Desember 2022. Akan tetapi, pengaturan tentang perkosaan, pencabulan dan persetubuhan tidak ditempatkan dalam UU TPKS melainkan di KUHP.