Makam Keramat Kyai Haji Jamiin di Masjid Tertua Pesisir Utara
Sayup-sayup azan zuhur terdengar menyelinap ke telinga dari kejauhan. Sementara raungan laju sepeda motor membelah sudut demi sudut pesisir utara Jakarta menuju sumber suara.
Kendaraan itu melesat di atas aspal panas. Merayapi setiap jalanan sepi di mana di setiap sisinya hanya ada rawa-rawa.
Hutan bakau yang begitu rindang dan destinasi wisata Rumah Si Pitung memberikan isyarat bahwa Masjid Al-Alam Marunda semakin dekat.
Setelah menyusuri gang kecil, gapura Masjid Al-Alam Marunda menyambut kedatangan dengan gagahnya. Meski warna cat yang membalut sudah mulai memudar, namun tulisan Masjid Al Alam Marunda masih nampak jelas terbaca.
Di balik gapura itu, berdiri kokoh sebuah bangunan masjid tua di atas sebidang tanah yang cukup luas. Masjid tertua di Jakarta ini terletak di Jalan Marunda Kelapa No 1, Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.
Komplek masjid itu terdiri dari beberapa bangunan seperti masjid, pendopo masjid dan area pemakaman. Di belakang masjid tepatnya di dekat mimbar masjid terdapat satu makam keramat dengan tirai warna hijau.
Tak seperti makam keramat kebanyakan, tirai yang menyelimuti makam itu terbuka pada salah satu sisi, sehingga jirat makam tersebut dapat dilihat oleh para peziarah.
Jirat makam keramat itu terbuat dari keramik putih berukuran kecil dengan bagian tengah terdapat tanah merah. Tingginya sekitar 10 sentimeter.
Pengurus Masjid Al Alam, Kusnadi mengatakan makam keramat tersebut merupakan makam Kyai Haji Jamiin bin Abdullah yang merupakan seorang ulama berasal dari Kebon Nanas, Jatinegara. Dia datang ke masjid itu dengan membawa satu misi yakni menyebarkan agama Islam di Marunda.
"Beliau datang ke Marunda untuk mengajarkan agama Allah yaitu agama Islam. Beliau tinggal di sini, mengurus masjid ini, dan mengajarkan agama di sini. Itu kehidupan beliau setiap harinya," kata Kusnadi saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Selasa (21/3).
Kusnadi kemudian menceritakan karamah Kyai Haji Jamiin bin Abdullah pada abad ke-18. Kala itu, terjadi tragedi meletusnya Gunung Krakatau yang menyebabkan ribuan manusia meninggal dunia.
Saat bencana maha dahsyat itu terjadi, Kyai Haji Jamiin bin Abdullah tengah berada di Masjid Al Alam. Seluruh masyarakat Marunda pun berbondong-bondong ke masjid itu untuk mencari perlindungan.
Mereka memanjatkan doa kepada Allah SWT agar terlindung dari bencana meletusnya Gunung Krakatau dengan dipimpin langsung oleh Kyai Haji Jamiin bin Abdullah.
Gulungan ombak tsunami akibat meletusnya Gunung Krakatau begitu liar berlari ke arah Masjid Al Alam. Namun, ketika amukan ombak hampir mengenai bagian bangunan masjid, ombak pun terbelah menjadi dua bagian.
"Saat terjadi tsunami, ombak hampir sampai ke Masjid Al Alam Marunda, itu ombak terpecah belah menjadi dua," ujar Kusnadi.
"Setelah itu masjid dan penduduk sekitar diselamatkan oleh Allah SWT melalui tadi doanya beliau wali Allah Kyai Haji Jamiin bin Abdullah," sambungnya.
Kusnadi menuturkan tak ada yang tahu kapan Kyai Haji Jamiin bin Abdullah tutup usia. Sebab, tak ada catatan yang menjelaskan mengenai hal itu.
"Meninggalnya beliau masih simpang siur karena tidak ada catatannya," tuturnya.
Selain makam keramat milik Kyai Haji Jamiin bin Abdullah, area belakang masjid juga terdapat pemakaman umum yang cukup luas.
Perbincangan antara Kusnadi dan CNNIndonesia.com kemudian mengarah kepada sejarah berdirinya Masjid Al Alam.
Pria yang sudah 14 tahun mengurus Masjid Al Alam itu menjelaskan kehadiran masjid tersebut tak terlepas dari perlawanan para aulia atau ulama terhadap penjajahan Portugis dan Belanda.
Kala itu, pasukan Mataram yang dipimpin oleh Adipati Bahurekso bersama Pangeran Fatahillah datang ke Marunda untuk melawan dan mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.
Mereka bersinggah di Marunda dan menyusun strategi untuk memukul mundur Portugis. Seiring berjalannya waktu usai Portugis berhasil dibuat mundur dari Sunda Kelapa, Belanda datang dan menguasai Batavia.
Adipati Bahurekso bersama Pangeran Fatahillah kemudian menjadikan Masjid Al Alam sebagai basis perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
"Masjid ini bukan hanya buat syiar agama aja, jadi untuk basis perlawanan juga. Untuk merancang strategi melawan penjajah. Masjid ini salah satu saksi sejarah pada saat perlawanan Portugis dan Belanda," kata Kusnadi.
Berlanjut ke halaman berikutnya...