Jelang Pilpres 2024, kita akan semakin sering disuguhi beragam aksi pada kandidat capres. Dari mulai kegiatan lari pagi, kunjungan ke masjid dan pondok pesantren, pertemuan dengan relawan dan pendukung, blusukan ke pasar atau ke rumah warga, serta berbagai aktivitas lainnya.
Kegiatannya itu biasanya disertai dengan "atribut penyerta", agar memiliki makna dan citra tersendiri. Dari mulai gaya berpakaian, cara bersikap hingga ekspresi wajah.
Termasuk juga heroiknya penyambutan dan teriakan "presiden" kepada kandidat yang didukungnya. Semuanya dikemas, agar para kandidat memiliki kesan yang positif di hadapan publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semua aktivitas dan gaya dari calon presiden itu menjadi santapan dan ditampilkan utuh oleh media.
Dalam perspektif komunikasi politik, dikenal istilah politik entertainment yang kemudian disingkat menjadi politainment. Heather lamarre, dalam tulisannya, Political entertainment : historical traditions and contemporary genres (2015) menyebut, istilah "political entertainment" mengacu pada kategori sastra, media, dan seni pertunjukan di mana politik dan hiburan digabungkan.
Terkadang tujuannya hanya untuk menghibur, sementara di lain waktu tujuannya adalah untuk melibatkan, menginformasikan, atau membujuk khalayak.
Fenomena politainment kemudian dipahami sebagai rantai simbiosis antara politisi dan media. Penyatuan konsep antara politik dan entertainment awalnya tampak seperti penyatuan minyak dan air. Dua unsur yang tidak mungkin disatukan, namun ternyata sanggup bersatu dalam sebuah ekosistem media.
Konsep tentang politainment berpijak kepada pemahaman bahwa apa yang disajikan media adalah aneksasi antara politik dan entertainment (Parenti, dalam Allifiansyah, 2014).
Dalam konteks ekonomi politik media, bersatunya unsur politik dan entertainment tentu memiliki motif tertentu. Dari sisi penyampaian konten, pesan dibuat semenarik mungkin agar publik mudah mengerti setiap pesan yang dilontarkan para politisi.
Sementara dari sisi media, mereka mendapat keuntungan dari rating atau click yang diperoleh, yang muaranya adalah perolehan iklan.
Kondisi seperti ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena budaya populer yang sudah merasuk ke dunia politik. Budaya populer adalah jenis kebudayaan yang perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan industrialisasi, kapitalisme dan konsumerisme.
Lihat Juga : |
Budaya populer turut terkait dengan apa yang disebut budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi untuk massa, mengikuti pola produksi massa. Budaya populer menyiratkan akan keberadaan budaya nonpopuler sebagai lawannya, yaitu budaya yang dibangun oleh pendekatan nonpopuler yang biasanya disebut budaya luhur (Piliang, 2011).
Seiring dengan perkembangan teknologi media, pemanfaatan budaya populer dalam sebuah perilaku politik dianggap sebagai strategi baru dalam dunia politik.
Tujuannya adalah untuk dapat memenuhi kepentingan politis para aktor politik. Para aktor politik semakin sadar bahwa pendekatan secara kultural sangatlah penting untuk dapat meraih perhatian publik secara luas.
Seturut dengan itu, di tangan jurnalisme bergaya ala infotainment, peristiwa politik diubah jadi tontonan yang menghibur. Media lebih senang memberitakan tentang baju atau jaket yang digunakan, sepatu yang dipakai, gaya rambut, mobil dinas yang digunakan, hewan kesayangannya, aktifitasnya di kala senggang, dan hal hal ringan lainnya.
Tak jarang, media terjebak pada "gimmick" yang sengaja diciptakan kandidat, karena ia tahu realitas seperti itu lebih "seksi" dimata media.
Fenomena menjadikan media sebagai panggung pertunjukan politisi bukanlah cerita baru.
Cara cara seperti ini sudah dilakukan sejumlah politisi terdahulu. Keberhasilan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden juga tidak bisa dilepaskan dari "drama politik" yang disiarkan televisi. Berawal saat pengunduran dirinya dari posisi Menko Polkam, SBY kemudian dipersepsikan sebagai korban kesewenang-wenangan penguasa.
Opini yang terbentuk ini ditangkap oleh publik, sehingga pada akhirnya muncul simpati yang massif terhadap SBY. Akibatnya, popularitas SBY melesat, mengungguli lawan-lawan politiknya, termasuk Megawati Soekarnoputri, orang yang memecatnya.
Contoh lainnya ketika Barrack Obama menjalani pemilihan Presiden Amerika pada 2008. Ketika mencalonkan diri dari Partai Demokrat, Obama menggunakan musik populer sebagai media dan wadah kampanye politiknya.
Ia memanfaatkan artis-artis populer untuk menciptakan sekaligus merekam sebuah lagu easy listening yang berjudul "Yes we can!", sebuah judul lagu yang sebenarnya juga merupakan jargon dari kampanye Obama sendiri.
Melalui strategi ini, Obama sukses mengajak generasi muda untuk mendukung dirinya sehingga terpilih sebagai presiden Amerika ke-44.
Begitu juga dengan apa yang dilakukan Presiden Jokowi. Di masa awal awal kemunculannya dipanggung politik, ia dicitrakan sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat, setelah media, khususnya televisi, menampilkan sosok yang kerap blusukan.
Ia juga dianggap sebagai pemimpin yang sederhana, yang ditandai dengan pakaian kemeja kotak-kotak atau juga kemeja putih lengan panjang yang digulung pada saat dikenakan, sepatu murah ataupun badan yang kurus.
Berbagai sikap dan gesture yang ditunjukkan Jokowi hingga kini juga selalu meninggalkan kesan kesan tertentu, yang tujuannya tentu saja untuk membangun citra positif.
Ini adalah realitas politik kita saat ini. Para politisi, apalagi para calon presiden tentu menyadari pentingnya memanfaatkan media untuk membangun persepsi positif.
Maka tak heran ke depannya kita akan terus disuguhi dengan prilaku dan tindakan yang "remeh temeh", namun ternyata punya nilai jual yang disukai media karena memang berkelindan dengan selera publik yang menjadi konsumen media itu sendiri.
Maka tak heran, makna keberpihakan terhadap rakyat seakan bergeser menjadi persoalan blusukan semata. Makna kepedulian pada rakyat seolah tergambar dari menggendong dan mencium balita. Makna berpihak pada anak muda seakan terlihat saat kandidat menggunakan baju kaos dan topi terbalik.
Kesan kecerdasan seakan terbangun ketika kandidat mem-posting dirinya tengah membaca buku. Kesan sosok yang tegas dan berwibawa seolah hanya tergambar dari bentuk tubuh dan intonasi yang keras saat berbicara.
Dalam kondisi seperti ini, citra, kesan, dan penampilan luar menjadi segalanya. Ia perlu dikemas agar memikat masyarakat. Namun jika ini terus dibiarkan, seorang pemimpin pada akhirnya hanya lebih berorientasi pada citra, kesan dan penampilan luar, ketimbang berjuang mewujudkan visi misinya. Branding lebih dititikberatkan pada political look dibandingkan dengan political performance.
Lihat Juga : |
Panggung politik telah berubah menjadi politainment untuk menarik perhatian khalayak. Situasi di mana peran politisi dan selebritas menjadi semakin kabur.
Dampak lebih jauh, kondisi ini hanya akan melahirkan pemimpin artifisial yang seolah pembela rakyat, dan kemudian menciptakan sistem politik yang berorientasi pada kerja "hiburan".
Akibatnya, tidak ada elaborasi lebih dalam bagaimana seharusnya keberpihakan terhadap rakyat yang mampu menjadi solusi bagi persoalan di lapangan. Lebih jauh lagi, telah terjadi penurunan kualitas jurnalistik, yang seharusnya mengabdi pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan elit atau kandidat.
Sebagai solusinya, pemilih harus disadarkan tentang pentingnya rasionalitas dalam menentukan calon pemimpinnya. Warga harus memiliki sikap kritis agar bisa selektif dalam mencerna informasi yang diterimanya. Di sisi lain, media juga punya tanggung jawab yang besar sebagai bagian dari alat kontrol sosial.
Media harus mampu mengedukasi publik, dengan informasi yang lebih berorientasi pada gagasan dan program dari kandidat ataupun partai.
Media tidak lagi sekedar menerapkan jurnalisme "microphone" yang hanya menerima dan memberitakan mentah mentah setiap aktivitas kandidat. Media dan jurnalis harus lebih skeptis dan mampu bersikap kritis, agar tidak terkesan "dimanfaatkan" para kandidat.
Media tidak lagi sekedar menempatkan publik sebagai konsumen dalam perspektif ekonomi, tapi sebagai warga negara dengan hak hak yang melekat padanya.
Dengan begitu, media bukan lagi sekedar menjadi panggung citra, melainkan panggung program kerja dan wadah dialog antara pemilih dan kandidat. Tentu ini bukan pekerjaan mudah di tengah ekosistem media yang model bisnisnya bertumpu pada jumlah penonton atau pembaca.
(sur)