Saldi menyatakan praktik politik uang sama-sama berpotensi terjadi pada sistem pemilu apa pun seperti proporsional terbuka maupun tertutup. Saldi menuturkan yang seharusnya diperhatikan ialah mitigasi terhadap praktik politik uang dalam pemilu. Ia setidaknya mempunyai tiga catatan perihal langkah konkret mencegah politik uang.
Pertama, partai politik dan calon anggota DPR/DPRD harus memperbaiki dan meningkatkan komitmen untuk menjauhi dan bahkan sama sekali tidak terjebak dalam politik uang di setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
Catatan kedua, penegakan hukum harus benar-benar dilaksanakan terhadap setiap pelanggaran pemilu khususnya pelanggaran yang berkenaan dengan politik uang tanpa membeda-bedakan latar belakang baik penyelenggara maupun peserta pemilu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Khusus untuk calon anggota DPR/DPRD yang terbukti terlibat dalam praktik politik uang harus dibatalkan dan diproses secara hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Bahkan untuk efek jera, partai politik yang terbukti membiarkan berkembangnya praktik politik uang dapat dijadikan alasan oleh pemerintah untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik yang bersangkutan," ucap Saldi.
Catatan ketiga yaitu masyarakat perlu diberikan kesadaran dan pendidikan politik untuk tidak menerima dan menoleransi praktik politik uang.
"Dengan demikian, masalah praktik politik uang dan tindak pidana korupsi sebenarnya lebih disebabkan karena sifatnya yang struktural bukan sekadar disebabkan dari pilihan sistem pemilihan umum yang digunakan," kata Saldi.
Saldi berujar kebijakan mengenai 30 persen kuota perempuan di bidang politik merupakan satu kebijakan affirmative action yang sifatnya sementara dengan menerapkan adanya kewajiban bagi partai politik untuk menyertakan calon anggota legislatif bagi perempuan.
Hal ini sebagai wujud tindak lanjut dari Konvensi Perempuan se-Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi.
Keterwakilan perempuan 30 persen menjadi syarat mutlak bagi partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan kadernya dan sekaligus bertujuan menjaga peluang keterpilihan perempuan berperan di lembaga keterwakilan.
Sejauh ini, terang Saldi, ambang batas kuota 30 persen bagi perempuan dinilai cukup memadai sebagai langkah awal untuk memberi peluang kepada perempuan agar terpilih menjadi anggota DPR/DPRD.
"Dalil pemohon tidak sesuai dengan fakta hasil pemilu dalam beberapa pemilu yang dilaksanakan setelah perubahan UUD 1945. Meskipun belum mencapai kuota minimal 30 persen, setidak-tidaknya sejak pemilu menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka, anggota DPR dari perempuan cenderung meningkat," ujarnya.
Mahkamah, kata Saldi, berpendapat hal-hal yang bersifat teknis dalam penyelenggaraan pemilu yang masih dapat diperbaiki dan disempurnakan sudah seharusnya tidak mengesampingkan hal-hal yang bersifat substantif dan mendasar dalam pemenuhan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis, terutama dalam pemenuhan prinsip kedaulatan rakyat.
"Menimbang bahwa dalil-dalil pemohon di atas berkaitan dengan implikasi dan implementasi penyelenggaraan pemilu yang menurut Mahkamah sebagaimana telah dipertimbangkan secara lengkap dalam Paragraf 3.31 tidak semata-mata disebabkan oleh pilihan sistem pemilihan umumnya," terang Saldi.
(ryn/fra)