Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sapi yang terjangkit penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) dengan gejala klinis berat tak sah dijadikan hewan kurban.
Hal ini tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 34 Tahun 2023 Tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban saat Merebaknya Penyakit Lumpy Skin Disease (LSD) dan Antisipasi Penyakit Peste Des Petits Ruminants (PPR) Pada Hewan Kurban. Fatwa ini dikeluarkan pada 1 Juni 2023.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hewan yang terjangkit LSD dengan gejala klinis berat sebagaimana disebut dalam ketentuan umum hukumnya tidak sah dijadikan hewan kurban," bunyi salah satu poin dalam dokumen fatwa yang didapatkan CNNIndonesia.com, Kamis (15/6).
Penyakit LSD biasa dikenal dengan penyakit kulit berbenjol. Penyakit ini tergolong menular pada sapi atau kerbau imbas virus LSD. Ciri penyakit ini adalah munculnya benjolan padat pada kulit di hampir semua bagian tubuh sapi/kerbau.
MUI mengatakan hewan terjangkit penyakit LSD gejala klinis berat ditandai dengan menyebarnya benjolan 50 persen atau lebih pada tubuh. Kemudian sudah ada benjolan yang pecah dan menjadi koreng, dan terbentuk jaringan parut. Gejala klinis ini berpengaruh pada kerusakan di kulit dan permukaan daging
Di sisi lain, fatwa MUI menegaskan sapi/kerbau yang terjangkit penyakit LSD dengan gejala ringan masih sah dijadikan hewan kurban.
Penyakit LSD dengan gejala klinis ringan ditandai dengan belum menyebarnya benjolan dan gejala klinis ini tidak berpengaruh pada kerusakan daging.
"Hewan yang terjangkit LSD dengan gejala klinis kategori ringan sebagaimana disebut dalam ketentuan umum hukumnya sah dijadikan hewan kurban," bunyi fatwa MUI tersebut.
Tak hanya penyakit LSD, fatwa MUI juga menetapkan kambing/domba yang terjangkit penyakit Peste des Petits Ruminants (PPR) dengan gejala klinis kategori per-akut sampai akut tak sah dijadikan hewan kurban.
Penyakit Peste des Petits Ruminants (PPR) adalah penyakit menular pada kambing dan domba yang disebabkan virus Peste des Petits Ruminants Penyakit ini dicirikan dengan ingus kental dan berwarna kekuningan dari hidung dan kelopak mata, luka pada bagian bibir, rongga mulut dan lidah, serta diare yang dapat disertai darah.
"Hewan yang terjangkit PPR dengan gejala klinis per-akut dan akut sebagaimana disebut dalam ketentuan umum hukumnya tidak sah dijadikan hewan kurban," bunyi fatwa tersebut.
Sementara itu, fatwa MUI mengatur kambing/domba yang terjangkit penyakit PPR dengan gejala klinis sub-akut masih sah untuk dikurbankan.
Gejala hewan yang terjangkit penyakit PPR dengan gejala klinis sub-akut ditandai dengan suhu tubuh 39-40°C, hewan tidak menunjukkan gejala klinis yang parah. Hewan dapat sembuh selama 10-14 hari.
"Hewan yang terjangkit PPR dengan gejala klinis Sub-Akut sebagaimana disebut dalam ketentuan umum hukumnya sah dijadikan hewan kurban," bunyi fatwa tersebut.
MUI lantas meminta pemerintah wajib menjamin ketersediaan hewan kurban yang sehat dan memenuhi syarat untuk dijadikan kurban. Pemerintah, kata MUI, juga wajib melakukan langkah pencegahan agar penyakit LSD dan PPR dapat dikendalikan dan tidak meluas penularannya.
MUI juga meminta pemerintah wajib memberikan pendampingan dalam penyediaan, penjualan, dan pemeliharaan hewan kurban untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan hewan kurban.
"Pemerintah wajib mendukung ketersediaan sarana prasarana untuk pelaksanaan penyembelihan hewan kurban melalui rumah potong hewan (RPH) sesuai dengan fatwa MUI tentang standar penyembelihan halal agar penyebaran LSD dan PPR dapat dicegah semaksimal mungkin," bunyi pedoman kurban MUI.
Hari Raya Idulfitri 1444 H atau biasa dikenal hari raya kurban diperkirakan akan jatuh sekitar akhir pada akhir bulan Juni ini. Muhammadiyah telah menetapkan Hari Raya Iduladha jatuh pada 28 Juni 2023.
Sementara Kementerian Agama baru akan menggelar sidang isbat pada 18 Juni 2023 mendatang untuk menentukan Hari Raya Iduladha.
(rzr/pmg)