Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah masalah dalam penyelenggaraan ibadah haji pada 1443 Hijriah atau 2022 Masehi yang dilaksanakan Kementerian Agama di DKI Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Arab Saudi.
Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) Semester II Tahun 2022 tersebut, BPK mendorong pemerintah atau Kementerian Agama untuk mengembangkan lembaga yang efektif, akuntabel, dan transparan di semua tingkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut poin kesimpulan hasil pemeriksaan BPK terkait pelaksanaan ibadah haji yang dapat memengaruhi efektivitas kinerja dalam pelaksanaannya:
Berdasarkan amanat UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, Menteri Agama menetapkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler yang mengatur ketentuan lebih lanjut terkait penyelenggaraan ibadah haji bagi jemaah haji reguler.
Dalam laporan tersebut, BPK menyimpulkan regulasi kuota haji belum mengatur jumlah kuota jemaah lanjut usia, pembimbing Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU), dan Petugas Haji Daerah (PHD).
"Akibatnya, tidak ada standardisasi jumlah kuota jemaah haji lanjut usia, jumlah kuota pembimbing KBIHU, dan jumlah kuota PHD," tulis laporan BPK yang dilihat CNNIndonesia.com, Rabu (21/6).
BPK menemukan permasalahan terkait perhitungan dan pendistribusian kuota haji ke provinsi dan kabupaten kota belum sesuai dengan ketentuan.
Dalam laporan itu, BPK menilai penetapan kuota per provinsi pada 2022 tidak sesuai dengan PMA Nomor 13 Tahun 2021 soal pembagian kuota haji provinsi yang didasarkan pada pertimbangan proporsi jumlah penduduk muslim jumlah daftar tunggu jemaah haji antarprovinsi.
"Hal ini ditunjukkan dengan terdapat beberapa provinsi yang jika dihitung berdasarkan jumlah penduduk muslim seharusnya mendapatkan kuota lebih banyak daripada saat ini, seperti Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Banten," tulis laporan itu.
Lembaga tersebut juga mengatakan ada beberapa provinsi yang seharusnya mendapatkan kuota lebih sedikit yang di antaranya adalah Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua, Provinsi Sulawesi Barat, dan Provinsi Maluku.
"Selain itu, Provinsi Jawa Timur yang merupakan provinsi dengan jumlah pendaftar haji terbanyak, kuota hajinya lebih kecil dari kuota haji Provinsi Jawa Barat yang jumlah pendaftarnya lebih sedikit," demikian tertulis dalam laporan itu.
BPK menilai masalah perhitungan dan pendistribusian kuota haji tersebut menimbulkan kesenjangan masa tunggu keberangkatan calon jemaah haji di antarprovinsi, kabupaten, dan kota.
Selain itu, BPK juga menilai perencanaan penempatan jemaah haji belum sepenuhnya memerhatikan sistem zonasi sesuai asal embarkasi.
Salah satu contohnya, kata BPK, terdapat perencanaan penempatan jemaah haji di Hotel Al Kiswah Tower di Jarwal untuk jemaah haji dari Embarkasi Batam (BTH) di zonasi untuk provinsi Kalimantan Barat. Kloter jemaah haji dari embarkasi Batam itu adalah BTH 2, BTH 3 dan BTH 4.
Menurut BPK, perencanaan penempatan itu tidak sesuai dengan Keputusan Dirjen Penyelenggaraan Haji Umrah (Dirjen PHU) Nomor 140 tahun 2022 tentang Penempatan Jemaah Haji dengan Sistem Zonasi Berdasarkan Asal Embarkasi lantaran jemaah haji asal Embarkasi Batam (BTH) ditempatkan di Wilayah Syisyah Sektor II.
"Agar sesuai penempatan zonasi maka jemaah haji asal kloter BTH 2, BTH 3, dan BTH 4 kemudian ditempatkan di hotel yang berada di wilayah Syisyah. Sehingga jemaah haji kloter BTH 2, BTH 3, dan BTH 4 tidak lagi menempati bed yang disediakan di Hotel Al Kiswah Tower di Jarwal," tertulis di laporan itu.
"Akibatnya, kata BPK, akomodasi sejumlah 1.317 bed yang telah disediakan di Hotel Al Kiswah Tower tidak terpakai," lanjutnya.