Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun menilai disetujuinya revisi UU Desa sangat vulgar terkait dengan tahun politik.
Ia menyebut hal itu juga memunculkan kesimpulan tafsir bahwa revisi UU Desa bertalian dengan kepentingan elite politik untuk mendapat dukungan politik dari kepala desa, bukan berbasis pada kepentingan rakyat.
"Tafsirnya akan sangat politis pragmatis transaksional sehingga citra DPR dan anggotanya akan semakin terpuruk," jelas Ubedilah pada CNNIndonesia.com, Kamis (22/6) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, masa jabatan kades selama enam tahun itu sangat cukup. Ubedilah merinci tahun pertama itu untuk adaptasi pembenahan struktur desa dan membuat program kerja. Lalu, pada tahun-tahun berikutnya dilanjutkan dengan kreativitas, implementasi dan evaluasi.
Ubedilah juga menyoroti periode yang lama itu dapat menutup peluang generasi muda untuk menjadi kades.
Padahal, tutur dia, saat ini Indonesia membutuhkan kades berusia muda untuk membuat bangsa ini cepat maju dari desanya. Sebab, usia kades yang masih muda dinilai cenderung masih punya energi besar dan visi besar untuk memajukan desa.
Ubedilah berpendapat, masa jabatan kades selama enam tahun untuk dua periode seperti saat ini dapat membuat generasi muda berpeluang lebih besar untuk memajukan desa.
"(Perpanjangan masa jabatan kades) Terlihat sekadar untuk terus berkuasa dan menunjukan rendahnya kualitas leadership kepala desa karena masa enam tahun tidak bisa menjalankan program dengan baik," jelas Ubedilah.
Ubedilah juga tak setuju dengan usulan kenaikan anggaran desa hingga 100 persen. Dia menilai evaluasi dan perbaikan masalah utama perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum dana desa dinaikkan.
Ia menyebut masalah itu meliputi kualitas sumber daya manusia (SDM) perangkat desa, kualitas kepemimpinan atau leadership kades, termasuk sistem pengawasan.
"Kalau soal kenaikan anggaran dana desa yang naik hingga 100 persen saya kira itu berlebihan, kalkulasinya tidak rasional karena mengelola dana yang kurang lebih Rp1 miliar saja banyak yang korupsi apalagi kurang lebih menjadi Rp2 miliar setiap desa. Kenaikan dana desa memang perlu dilakukan tetapi tidak sampe naik 100 persen lah," tutur Ubedilah.
Sementara itu, Asrinaldi menjelaskan anggaran desa memang ditujukan untuk pembangunan dan pemberdayaan di desa. Ia menyebut sumbernya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ia mengaku tak mempermasalahkan dana desa naik jika memang digunakan untuk masyarakat. Kendati demikian, dia juga menyoroti soal membesarnya potensi korupsi karena kenaikan dana desa itu.
"Tapi masalahnya anggaran negara sedang berat, kenapa ini dipaksa di tahun politik. Belum lagi potensi dikorupsi juga besar karena SDM di desa tidak semuanya bisa merencanakan program. Jadi motifnya jelas untuk menyenangkan hati masyarakat dengan harapan apa yang diperjuangkan ini ada kaitannya dengan dukungan pada Pemilu 2024," kata Asrinaldi.