LIPUTAN KHUSUS

Sengkarut di Balik Jas Putih, Darah Biru Dokter, dan Kemelut Birokrasi

CNN Indonesia
Selasa, 27 Jun 2023 13:05 WIB
Praktik senioritas dalam profesi kedokteran terus berulang. Kemenkes pun mengakui hal itu terjadi dan menyatakan akan mengaturnya dalam regulasi.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Banyuwangi Nelly Mulyaningsih menyampaikan aspirasi di hadapan anggota dewan di Kantor DPRD Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (28/10/2022). (ANTARA FOTO/BUDI CANDRA SETYA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Alvin Saputra masih mengingat dengan jelas saat ia mengikrarkan sumpah dengan rasa haru dan bangga di momen pelantikan dokter pada 2019. Teringat kalimat magis, 'saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara kandung'.

Dengan segala 'keagungan' yang disematkan mayoritas publik terhadap profesi kedokteran, ia kala itu ikut bangga bisa mengenakan jas putih setelah bertahun-tahun berjibaku mengenyam pendidikan akademik di bangku kuliah sejak 2013.

Belum lagi apabila Alvin runtut melanjutkan tahapan studinya, ia bakal menjadi garda terdepan dengan sematan profesi mulia. Memberikan pengobatan, perawatan, dan perpanjangan tangan Tuhan untuk menyembuhkan para pasien.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di antara segala riuh kebanggaan itu, Alvin merenungi beberapa hal, terutama setelah ia melihat dunia kedokteran pun tak jauh dari senioritas. Ia tidak menampik berdasarkan cerita dari sejawatnya, praktik senioritas memang terjadi di hampir seluruh ranah pendidikan bahkan profesi.

Namun setelah kembali mengingat poin ke-10 atas sumpah yang ia lafalkan, rasa-rasanya apa yang ia lihat selama ini harus diluruskan. Tradisi perundungan berkedok senioritas di kalangan tenaga medis menurutnya perlu dihilangkan. Menurutnya, sangat disayangkan apabila jas putih itu dikotori oleh percikan hitam.

Dalam tingkatannya, calon dokter spesialis pada semester 1-3 masuk kategori junior. Sementara mereka yang sudah di semester 4-5 bertanggung jawab untuk mendidik junior.

"Bullying tidak harus fisik. Biasanya terjadinya karena ketimpangan kekuasaan atau feodalisme, juga revenge (balas dendam). Memang bukan luka fisik yang membekas, tetapi jutaan nominal rekening orang tua yang berkurang," kata Alvin saat ditemui CNNIndonesia.com di bilangan Jakarta Selatan, akhir Februari lalu.

Alvin mengaku menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat rekannya yang merupakan seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) atau disebut residen mendapatkan panggilan di malam hari dari seniornya.

Panggilan itu menurutnya tidak memiliki urgensi dengan profesinya. Saat itu, senior meminta agar junior residen mengganti ban mobil dini hari. Tak hanya itu, acap kali yang dikeluhkan residen adalah para senior menuntut untuk menyediakan set menu makanan lezat hingga renovasi ruangan memakai dana pribadi.

Belum lagi urusan privasi di sosial media yang menurutnya juga tak relevan dengan profesi. Contoh kecil saja, senior tak memperbolehkan junior menyetel aturan 'private account' pada sosial media mereka. Pun belum lagi beberapa unggahan yang sering dikomentari senior dengan sindiran.

"Kalau dihubungi senior, response time balas chat atau telepon harus kurang dari semenit. Jadi residen dituntut prima tanpa dibayar," kata dia.



Alvin juga menyadari akan banyak pihak yang berkomentar setelah dirinya berani bersuara lantaran dirinya memutuskan tidak melanjutkan tahapan PPDS, namun malah seolah sudah terjun di dalamnya. Menurutnya apa yang diucapkannya hari ini merupakan pengakuan dari para sejawatnya dengan menyertakan bukti valid.

"Ya, kalau ada di bawah sistem itu, tidak mungkin berani berucap. Sekali mencuat habis sudah mimpinya menjadi seorang dokter spesialis," tuturnya.

Sebab, layaknya 'perundungan' pada umumnya, lanjut Alvin, banyak junior yang tidak berani melapor. Sebab beberapa preseden memperlihatkan bahwa pelapor justru akan ditandai dan menjadi seolah public enemy lantaran hubungan senior-junior yang terjadi itu dianggap lumrah.

Dokter sekaligus Influencer Alvin SaputraDokter sekaligus Influencer Alvin Saputra. (CNN Indonesia/Khaira Ummah)

PPDS menurutnya tentu akan berpikir ribuan kali untuk melapor, sebab kariernya sebagai dokter spesialis bisa terancam apabila berani melapor.

Alvin tidak tahu menahu apakah profesi lain atau pendidikan lain juga bernasib serupa. Namun menurutnya, feodalisme yang mengakar itu perlu menjadi perhatian luas masyarakat dan pemerintah. Bahwa perlu ada revolusi untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik dan manusiawi.

"Memang ini tidak menggeneralisasi perlakuan ini ada di setiap FK dan residen ya, tetapi kalau ditanya apakah bullying ini ada? Iya ada. Yang saya ingin highlight, 'we are equal, you just started it first'. Jadi kalau startnya kita sama-sama dari nol juga belum tentu kamu hebat dari saya dan sebaliknya," ujarnya.

Di sisi lain, seorang residen yang bercerita sebagai anonim mengatakan praktik senioritas di tempatnya menempuh PPDS membuatnya tidak nyaman. Bahkan, ia menemukan praktik perundungan sudah dilakukan sebelum masa studi resmi dimulai.

"Yang saya kurang suka, ada bagian di mana mereka senior menyuruh dengan cukup keras, juga dengan menghina. Kita dihukum dengan dikumpulkan, kemudian dimarahin dan diceramahin sampai jam tiga pagi. Sementara kita jam lima sudah harus mulai bekerja lagi. Dan itu terus berulang sampai kita melewati semester tiga," ujar residen tersebut kepada CNNIndonesia.com.

Misalnya, kegiatan kuliah seharusnya baru dimulai pada 1 September, akan tetapi ada kegiatan orientasi bayangan sejak 2 Agustus atas inisiatif senior. Menurutnya, kegiatan tersebut ilegal karena tidak ada pemberitahuan pada pengumuman resmi.

Pada orientasi bayangan tersebut, residen harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dari kejadian itu, ia pun mulai berpikir pada interaksi tersebut sudah menghabiskan tabungannya, sementara masa pendidikan 5 tahun tentunya akan menelan biaya yang jauh lebih besar.

"Yang saya permasalahkan adalah uang-uang yang tak ada hubungannya dengan pendidikan. Uang untuk menjalani hidup berlebihan, uang yang bisa dikatakan pemerasan," kata dia.

Dalam forum terbuka pada akhir tahun lalu pun, seorang dokter residen asal Sumatera Barat sempat mengakui praktik senioritas di tempatnya. Diniy Miftahul M. menyebut tradisi itu terjadi secara turun temurun, meski ia tidak merinci bentuk senioritas itu.

"Saya baru semester tiga saya melihat fenomena ini terus berulang walaupun mungkin sebenarnya sering dialami mereka senior sudah lebih dulu mendapatkan bullying. Apa yang kami dapatkan mungkin enggak ada seberapanya dibandingkan dulu, sehingga bullying itu terus berulang," ujar Diniy.

Diniy lantas berharap agar pemerintah maupun organisasi profesi mampu menyudahi praktik senioritas itu dan memberikan perlindungan pada residen, sehingga proses kelahiran seorang tenaga medis, khususnya dokter Indonesia bersih dari perundungan.

IDI tak segan beri sanksi

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi tak menampik praktik senioritas itu memang ada. Kendati dirinya sebagai pucuk organisasi profesi (OP) selalu mewanti-wanti agar para dekan fakultas peduli terhadap temuan itu.

"Satu dua kasus ada, tapi kami akan tetap berusaha membantu menyelesaikan, dan komunikasi kami adalah kepada dekan," kata Adib kepada CNNIndonesia.com awal Maret lalu.

Adib mengatakan para residen memang harus ditempa dengan mentalitas yang kuat, sebab mereka nantinya akan berhadapan dengan pasien dan juga kondisi force majeure. Apabila residen mendapatkan jam kerja berlebih atau mendapatkan tugas tambahan, menurutnya itu masih bisa didiskusikan.

Namun, ada hal prinsipil yang menjadi pantangan bagi senior ke junior. Pertama, terkait permintaan besaran uang untuk keperluan di luar pendidikan. Adib mengecam praktik itu dan tak segan menjatuhkan sanksi disiplin.

Kedua, perundungan fisik. Dalam aspek ini, temuan itu bahkan bisa dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Pun juga perundungan yang menyebabkan residen merasa terasing dan berniat berhenti di tengah jalan. IDI bersama Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) menurutnya telah berupaya 'membasmi' kejadian semacam ini.

"Hotline sejak kepengurusan saya, saya buat. Jadi memang ya tadi ada yang anonim gitu dan bukan hanya masalah pendidikan, semua masalah, seperti iuran tambahan di daerah, tolong dilaporkan," kata Adib.

"Nanti kita akan komunikasikan, tidak perlu harus menyebutkan nama, tetapi kalau mau menyebutkan nama lebih bagus lagi agar semakin mudah kami telusuri dan tindak," imbuhnya.

Kemenkes Akui Bullying Residen Memang Ada tapi Sulit Dibuktikan

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER