Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam kesempatan yang sama mengatakan pemerintah bakal membuat regulasi untuk mengatasi permasalahan itu. Sehingga, para tenaga medis dapat tumbuh menjadi dokter yang profesional, bermartabat, dan berperilaku baik pada pasien.
Budi menyebut apabila semisal ditemukan rumah sakit tidak menangani kasus pelaporan perundungan, maka dirinya bisa memecat direktur rumah sakit tersebut. Ia pun mewanti-wanti agar para residen semester 3 tidak melanjutkan tradisi senioritas apabila mereka naik jenjang nantinya.
"Aku ada list bullying-nya, aku tahu kok, jadi yang akan aku lakukan aku akan taruh di regulasi," kata Budi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Azhar Jaya menyampaikan pihaknya bakal merancang sistem pendidikan yang lebih transparan, salah satunya, melalui simplifikasi aturan.
"Jadi begini ya, kayak bullying itu memang ada, saya tidak tutup mata, kemungkinan ada, tapi susah dibuktikan karena itu tadi tidak banyak pelapor," kata Azhar.
Ia selanjutnya menyinggung temuan kasus senioritas juga berpotensi dialami residen yang dinyatakan lulus dan siap bertugas, namun terkendala oleh para dokter senior yang sudah 'menjaga' wilayah praktik, sehingga ada potensi takut tersaingi, dan menyebabkan residen tersebut gagal berpraktik di daerah yang dituju.
Melalui transformasi kesehatan, Azhar menyebut nantinya sistem distribusi dokter akan diatur melalui sistem informasi yang dikelola Kemenkes dan terintegrasi dengan daerah, sehingga penempatan para dokter baru akan sesuai dengan peruntukan dan kebutuhan daerah.
"Misalnya ada suatu daerah gitu ya, mau ada dokter baru lulus. Kemudian kalau di situ sudah ada senior semua, maka yang baru lulus ini enggak boleh masuk atau yang baru lulus ini takut. Itu kita buat sistemnya transparan, sehingga InshaAllah potensi kasus bullying ini bisa kita hindari," ujarnya.
Alvin sebelumnya tak menampik fenomena 'darah biru' dalam sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Julukan darah biru disematkan bagi dokter yang membangun dinasti atau mahasiswa kedokteran yang berasal dari keluarga dokter.
Misalnya, saat mengerjakan tugas, mahasiswa 'darah biru' atau memiliki kedekatan relasi dengan para dokter pengampu bakal dipermudah, sementara mahasiswa biasa cenderung dipersulit. Namun temuan ini juga tidak dapat digeneralisasi, lantaran menurutnya tak terjadi pada semua dosen pengampu dan semua FK.
"Kalau untuk yang biasa itu julukannya darah vena seperti aku," seloroh Alvin.
Selain itu, Alvin menyoroti sejumlah temuan terkait proses pemberian Satuan Kredit Profesi (SKP) yang tebang pilih. Misalnya, segelintir pihak dapat mengantongi SKP lebih cepat sebagai syarat mengurus Surat Tanda Registrasi (STR).
Dalam hal ini SKP yang dikumpulkan dalam jumlah yang ditentukan oleh organisasi profesi berguna sebagai salah satu syarat dokter mengantongi atau memperpanjang STR yang berlaku per lima tahun.
Kewajiban dokter untuk memenuhi SKP guna penerbitan sertifikat kompetensi (Serkom) sesuai dalam buku BP2KB IDI adalah 250 SKP dalam 5 tahun. Ini berarti 50 SKP dalam setahunnya. SKP bisa didapatkan dari sejumlah kegiatan.
Dalam ranah profesional dapat didapatkan melalui praktik melayani pasien. Kemudian pada ranah pembelajaran dengan mengikuti seminar atau workshop, dan yang terakhir dari ranah pengabdian dengan bergabung pada bakti sosial bisa berupa penyuluhan atau kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat.
IDI mengatakan fenomena darah biru memang ada, namun tidak sebanyak yang publik kira. Misalnya, apabila berbicara data, maka Ketua Umum PB IDI Adib menyebut dokter pengampu yang memiliki anak seorang mahasiswa hanya 2 persen.
"Jadi kalau yang masalah darah biru ya kebetulan kalau saya bukan bukan darah biru, dan saya termasuk yang salah satu lahir bukan anaknya profesor, bukan anaknya konsultan. Tapi, Alhamdulillah saya bisa spesialis juga gitu," kata Adib.
Kemenkes selanjutnya mengklaim penyederhanaan aturan salah satunya menjadi solusi dari permasalahan tersebut. Lewat Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kesehatan, STR tenaga kesehatan dan tenaga medis yang saat ini perlu perpanjangan per lima tahun akan diubah menjadi berlaku seumur hidup layaknya ijazah.
Selain itu, pemerintah bakal melakukan simplifikasi SKP dan Surat Izin Praktik (SIP). Upaya penyederhanaan birokrasi itu menurut Kemenkes berangkat dari laporan para nakes dan tenaga medis yang mengeluhkan ruwetnya perizinan mereka.
Sebagai pembanding, saat ini syarat membuat STR yakni di antaranya; ijazah pendidikan bidang kesehatan, surat keterangan dokter ber-SIP, pas foto terbaru, KTP, serkom atau sertifikat profesi, surat sumpah, dan surat patuh etika profesi.
Dirjen Nakes Kemenkes Azhar menyebut sejumlah keluhan muncul dari syarat serkom yang susah lantaran SKP yang tersendat-sendat progresnya.
Sementara nantinya, guna memenuhi kecukupan SKP, dokter dan nakes harus mengumpulkan SKP dalam jumlah tertentu yang dimasukkan ke sebuah sistem informasi (SI) yang dikontrol oleh Pemerintah Pusat.
Serkom baru diterbitkan oleh pemerintah daerah baik Dinas Kesehatan atau pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) jika dokter dan tenaga kesehatan telah memenuhi kecukupan jumlah SKP tertentu di dalam SI tersebut.
Proses registrasi dan izin praktik pun akan terintegrasi dan terhubung antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
"Jadi nanti pengumpulan SKP akan dilakukan terstandar. Kita akan duduk bersama, berapa sih sebenarnya standarisasi pembobotan SKP, dan bagaimana kita bisa membantu nakes untuk kemudahan akses mendapatkan pelatihan dan seminar," ujarnya.
Sementara aturan penerbitan SIP tetap memerlukan STR dokter atau STR dokter gigi yang masih berlaku. Kemudian mempunyai tempat praktik, dan juga memiliki rekomendasi dari organisasi profesi. Namun ke depannya, rekomendasi itu dilakukan oleh sistem, sehingga tidak perlu bertemu langsung dengan OP di daerah.
Sementara itu, Adib menilai kebijakan masa berlaku STR seumur hidup sejatinya menjadi permasalahan baru. Ia pun menyinggung bagaimana sistem pengawasan kepada para tenaga medis dan nakes ke depannya apabila mereka tidak memiliki standar dalam berpraktik.
"Saya seorang dokter ortopedi, misalnya kemudian dianggap akan terus menjadi dokter ortopedi seumur hidup, maka yang akan dirugikan adalah masyarakat dari aspek pelayanan. Karena masyarakat akan terlayani oleh seorang dokter yang tidak dinilai kompetensinya," kata Adib.
STR seumur hidup menurutnya membuat tidak ada evaluasi terhadap para dokter yang biasanya dilakukan dalam perpanjangan STR setiap lima tahun sekali. Padahal penilaian reguler itu akan mengkaji kembali pengetahuan para tenaga medis dan nakes, kemampuan psikomotorik, serta etika mereka.
Di sisi lain, Sekretaris Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan Judilherry Justam menilai selama ini IDI dan sejumlah OP super body. Judil menilai justru saat ini liberalisasi sektor kesehatan sudah terjadi dengan IDI sebagai organisasi massa yang memiliki wewenang besar dalam menentukan nasib dokter.
"Di negara lain tidak ada seumur hidup, malah di Amerika itu tidak mengenal STR. Untuk apa diperpanjang terus, di Singapura itu berlaku seumur hidup. Di Jerman ijazah itu dianggap STR. Di Malaysia juga berlaku seumur hidup. Lalu kenapa kita harus mempersulit dokter, untuk membuatnya setiap lima tahun?" kata Judil.
Judil mengatakan peran IDI sebagai organisasi massa yang memiliki wewenang 'perizinan' melalui aturan saat ini, tidak memiliki presedennya di ranah kedokteran negara-negara maju, bahkan negara tetangga. Masalah izin dan penjaminan kompetensi dokter menurutnya adalah sepenuhnya wewenang pemerintah, tanpa tersandera oleh OP.