Korban 1965 dan Petrus di Jateng Desak Pelurusan Sejarah
Korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat tragedi 1965 dan Penembakan Misterius (Petrus) 1882-1985 di Jawa Tengah mendesak pemerintah untuk pelurusan sejarah terkait kedua peristiwa di masa lalu tersebut.
Hal itu disampaikan mereka kala mengikuti acara virtual Peluncuran Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat di Semarang, Selasa (27/6).
Supari, warga Kendal yang sempat dipenjara selama 9 bulan di Nusakambangan karena dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) mengatakan pelurusan sejarah menjadi hal penting karena berkaitan dengan masa depan bangsa dan generasinya.
"Pelurusan sejarah jangan dilupakan, tidak boleh ditinggalkan karena menyangkut masa depan dan generasi bangsa. Seperti saya ini, waktu itu dicap PKI harus dibuang dan dibui ke Nusakambangan, terus anak cucu saya juga kena stigma anak cucunya orang PKI sehingga kesulitan sekolah dan kerja. Ya semoga Pak Jokowi ini bisa mendengarkan," kata Supari usai acara tersebut.
Hal senada juga disampaikan Eko Ari, warga Semarang, yang ayahnya bernama Sugeng, ditemukan tewas setelah dijemput beberapa anggota aparat alias menjadi korban Petrus.
Atas dasar peristiwa petrus tersebut, Eko mengatakan dirinya, adik, serta ibu dicap sebagai keluarga penjahat dan stigma tersebut berjalan selama berpuluh-puluh tahun hingga saat ini.
"Karena kasus Petrus itu, ayah saya kan tewas jadi korbannya sehingga ayah saya dianggap penjahat. Itu berlangsung sampai saat ini, saya sama adik dicap anaknya penjahat, ibu saya dicap istri penjahat sampai akhir hidupnya. Makanya saya juga sepakat kalau harus ada pelurusan sejarah," kata Eko di tempat yang sama.
Meski demikian, Supari dan Eko menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang berani mengakui adanya peristiwa pelanggaran HAM berat dan memperhatikan korban ataupun keluarga korban.