Perhimpunan Dokter Hewan Beber Sejarah Antraks di DIY dan Sekitarnya

CNN Indonesia
Jumat, 07 Jul 2023 18:44 WIB
Perhimpunan dokter hewan DIY menjelaskan sejarah antraks yang terjadi di Jogja dan sekitarnya sejak bertahun-tahun lalu, ternyata bukan cuma Gunungkidul.
Tim Reaksi Cepat BPBD Gunungkidul melakukan penyemprotan dekontaminasi bakteri antraks di Padukuhan Jati, Candirejo, Semanu, Gunungkidul, DI Yogyakarta, Jumat (7/7/2023). (Antara Foto/Hendra Nurdiyansyah)
Yogyakarta, CNN Indonesia --

Merebaknya penyakit antraks di Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta selama beberapa tahun terakhir disebut tak lepas dari penyebarannya di beberapa wilayah tetangga.

Selain itu tidak kalah penting yakni perilaku mengonsumsi daging ternak mati karena sakit oleh masyarakat setempat.

Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) DIY Aniq Syihabuddin menjelaskan status Gunungkidul sebagai lokasi endemi antraks sejatinya tak terjadi secara tiba-tiba.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut dia, penyakit ini sudah terlebih dahulu masuk ke DIY sebelumnya seperti di Sleman pada 2003, Kulon Progo dan Bantul 2017. Kemudian pada 2019 muncul di Karangmojo, Gunungkidul.

"Jadi sejarahnya DIY tidak terlepas dari daerah sekitarnya juga, dulu juga pernah di Boyolali, Wonogiri, itu juga sudah," kata Aniq saat dihubungi, Jumat (7/7).

Lalu lintas hewan ternak ditengarai menjadi pemicu sampainya antraks ke Gunungkidul. Sementara, sifat spora yang dihasilkan dari bakteri pemicu antraks menjadi sumber infeksi ke hewan dan manusia.

Dia menerangkan antraks bersifat zoonosis atau mampu menular dari hewan ke manusia, namun tidak untuk antarmanusia. Penularan dari hewan ini umumnya melalui kontak langsung seperti bersentuhan dengan tubuh yang luka. Seseorang juga bisa terpapar jika menghirup spora antraks.

Sebagai informasi, di Gunungkidul, menyembelih dan mengonsumsi ternak mati bak sudah jadi kebiasaan masyarakat setempat atau diporak. Proses penyembelihan inilah yang kemudian diduga menjadi pintu masuk kemunculan spora.

Saat proses penyembelihan, darah ternak yang mengandung bakteri antraks mengucur ke tanah lalu menjadi spora kala terpapar udara.

Spora sebagai sumber infeksi ini sangat resisten terhadap kondisi lingkungan dan bahan kimia tertentu serta mampu bertahan selama puluhan tahun di dalam atau permukaan tanah.

Spora yang tahan di tanah ini ketika masuk ke dalam tubuh ternak melalui makanan atau minuman, akan menyebabkan infeksi. Masyarakat yang mengonsumsi ternak mati karena antraks ini berpotensi terkontaminasi juga.

"Kalau di daerah lain, mungkin kalau hewan mati ya sudah, dikubur. Tapi kalau di Gunungkidul ya diporak itu tadi, mengonsumsi bangkai yang sudah terinfeksi antraks," papar Aniq.

Langkah pemerintah daerah persempit risiko antraks

Aniq menyebut pemerintah daerah setempat plus provinsi juga sudah tak kurang-kurang dalam menangani penyebaran antraks.

Oleh karena itu, kata Aniq, ke depan pihaknya menyarankan agar jangkauan vaksinasi hewan ternak semestinya diperluas demi antisipasi penyebaran antraks terjadi lagi.

Selain itu disinfeksi kandang atau lingkungan sekitar ternak secara rutin merata ke seluruh wilayah, termasuk sosialisasi kepada masyarakat agar tak mengonsumsi hewan mati karena sakit.

Masyarakat harus patuh larangan mengonsumsi tadi guna memutus mata rantai penyebaran antraks ini. Aniq turut menyarankan para peternak mengganti model beternak yang lebih higienis. Salah satunya dengan beralih ke kandang tipe beton.

Aniq menuturkan, kandang ternak berlantai tanah berisiko menjadi sarana penularan antraks sebab spora yang mampu bertahan bahkan sampai 80 tahun di tanah. Selain mudah dibersihkan dan tidak lembab, cairan disinfeksi yang disemprotkan pada kandang berlantai semen bisa lebih maksimal dan merata.

"Standar kandang di masyarakat kan kita tahu seperti apa, istilahnya biosecurity-nya tidak mendukung. Tidak harus beton, walaupun itu lebih mudah dibersihkan dan memiliki sanitasi yang baik. Semen itu lebih mudah dibersihkan ketimbang tanah," katanya.

Setelah semua upaya penanggulangan itu, masih perlu dibarengi sederet tindakan lain macam pengetatan pengawasan lalu lintas ternak, hingga penyelidikan epidemiologi pada hewan secara menyeluruh saat muncul kasus.

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP), kasus antraks ini sudah kesekian kalinya merebak di Gunungkidul. Catatan mereka mengungkap, antraks pernah muncul pada Mei dan Desember 2019, Januari 2020, Januari 2022, dan terakhir Juni 2023 ini.

Baca halaman selanjutnya

Karateristik Gunungkidul dan Kasus Antraks Berulang

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER