Terpisah, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DPKP) DIY Sugeng Purwanto mengatakan, Gunungkidul memiliki karakteristik tersendiri hingga membuat kasusnya berlarut-larut atau tak cukup satu kali kejadian seperti di Sleman atau Kulon Progo.
Faktor pertama, yakni kontur wilayah plus model beternak di Gunungkidul kemungkinan membuat pemerintah setempat atau instansi terkait kesulitan mengantisipasi penyebaran antraks.
"Perbedaan kita dengan mungkin di daerah lain ya kalau di sini kepemilikan ternaknya itu kan sedikit-sedikit dan terpencar di masyarakat bisa. Beda di daerah provinsi lain misalnya itu dalam bentuk kelompok besar, sehingga penanganannya itu menjadi lebih cepat karena tersentral," kata Sugeng di kantornya, Kamis (6/7) lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Faktor lain yang perlu diingat, kata Sugeng adalah Gunungkidul sebagai pusat populasi hewan ternak tertinggi di DIY.
"Jadi kalau yang kecil (populasinya), penanganannya lebih sederhana, lebih mudah," sambungnya.
DPKP juga menyadari masih perlunya upaya persuasif, mengedukasi masyarakat agar tak menyembelih dan mengonsumsi hewan ternak yang mati karena sakit. Mengingat itu adalah salah satu sarana penularan antraks dari hewan ke manusia.
Kasus penyakit antraks dilaporkan merebak di Dusun Jati, Candirejo, Semanu, Gunungkidul. Pemerintah kabupaten setempat menyebut ada 87 pasien positif terpapar berdasarkan tes serologi dan satu warga meninggal usai terjangkit antraks.
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul belum mengumumkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk antraks karena mengklaim bisa melokalisasi penyakit ini di Dusun Jati.
Padahal, mengacu ke Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 1501 tahun 2010, status KLB antraks di sana semestinya sudah diterapkan sejak pertama merebak di Gunungkidul 2019 lalu.