Pemkab Gunungkidul Bahas Kompensasi Cegah Warga Makan Hewan Mati Sakit

CNN Indonesia
Sabtu, 08 Jul 2023 15:40 WIB
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Gunungkidul, DIY mengklaim tengah membahas aturan mengenai kompensasi untuk hewan ternak yang mati.
Ilustrasi Pemkab Gunungkidul klaim tengah membahasa aturan kompensasi hewan ternak mati sakit demi mencegah antraks. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)
Yogyakarta, CNN Indonesia --

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Gunungkidul, DIY mengklaim tengah membahas aturan mengenai kompensasi untuk hewan ternak yang mati sebagai salah satu upaya mencegah penyebaran antraks.

"Kita selalu mengusahakan biar bisa punya aturan yang bisa memberikan kompensasi," kata Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Gunungkidul, Wibawanti Wulandari, Kamis (6/7).

Pembahasan aturan asuransi hewan ternak mati ini dibuka salah satunya menimbang kebiasaan masyarakat setempat menyembelih dan mengonsumsi daging hewan ternak yang mati karena sakit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebenarnya dari beberapa waktu lalu, sejak awal-awal kasus antraks di Gunungkidul (2019), waktu itu Dinas Peternakan masih jadi satu dengan pertanian juga, sebenarnya juga ingin berusaha ada aturan atau pemda ini punya anggaran untuk minimal kompensasi, untuk mengganti mungkin minimal senilai dari hewan yang mati," katanya.

Memang, kata Wibawanti, kompensasi tak akan senilai dengan harga jual ternak tersebut. Paling penting saat ini, menurutnya, adalah menyusun payung hukumnya terlebih dahulu.

"Sampai saat ini masih terus kita bicarakan, di awal tahun 2022 ketika Dinas Peternakan berdiri ini juga sudah kita bahas ulang lagi. Mudah-mudahan nanti kita berproses, bahasa saya berproses ke sana. Kita punya anggaran dan yang penting dari sisi aturan, aturannya itu memang kita bisa memberikan kompensasi seperti itu," paparnya.

Terpisah, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY Sugeng Purwanto menuturkan, skema asuransi buat ternak mati karena antraks memungkinkan meski saat ini regulasinya belum ada.

"Sementara ini belum ada policy untuk itu (antraks)," kata Sugeng di kantor DPKP DIY, Kota Yogyakarta, Kamis.

"Namanya asuransi kan menyangkut pihak ketiga, apakah kemudian ada pihak penjamin untuk melakukan itu. Tapi jawabannya dimungkinkan, cuma pengkoordinasiannya perlu dipikirkan. Apakah satu dua menguntungkan, apakah petani kita mau," sambungnya.

Beberapa pertimbangan penyakit antraks belum masuk skema asuransi ternak salah satunya melihat keberlangsungan program serupa lainnya. Sugeng mencontohkan program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) dengan premi sekitar Rp30 ribu per hektare per musim tanam.

Dengan modal subsidi pemerintah dan jaminan penggantian akibat puso sekalipun, kata Sugeng, implementasi dan keberhasilan program AUTP ini nyatanya sulit di lapangan.

Sementara kompensasi untuk ternak terdampak yang diberikan biasanya juga tidak akan penuh dan syaratnya harus terdaftar Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (iSIKHNAS). Seperti bantuan peternak saat kasus penyakit mulut dan kuku (PMK) merebak kemarin, nominal yang dicairkan hanya sebesar Rp10 juta untuk sapi dan Rp2 juta buat kambing.

"Dan penggantiannya pun ini policy dari Kementerian Pertanian melalui Dirjen Peternakan juga tidak kemudian pada saat itu mati, ijoli (diganti rugi), nggak juga. Itu kan perlu ada penganggaran khusus sehingga tata kelola perencanaan anggaran itu kemarin dilalui, penggantian itu memang agak di belakang, tidak langsung," paparnya.

Kasus penyakit antraks dilaporkan merebak di Dusun Jati, Candirejo, Semanu, Gunungkidul. Pemerintah kabupaten setempat menyebut ada 87 pasien positif terpapar berdasarkan tes serologi dan satu warga meninggal usai terjangkit antraks. Adapun 12 ekor ternak mati karena antraks sejak April 2023.

Pemkab setempat menengarai penyebaran antraks ke manusia di kasus ini dikarenakan tradisi mbrandu. Ini adalah tradisi di mana masyarakat membeli ternak yang mati milik warga lainnya. Sapi terjangkit antraks saat itu disembelih bersama-sama sebelum dagingnya dikonsumsi.

(kum/isn)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER