UU Kesehatan yang baru disahkan di DPR itu telah menghilangkan pasal aturan terkait mandatory spending alias wajib belanja.
Sebelumnya di dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, diatur besarannya 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji.
Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) menilai penghapusan mandatory spending dalam UU Kesehatan melanggar Abuja Declaration World Health Organization (WHO).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mohammad Adib Khumaidi juga sebelumnya beranggapan penghapusan mandatory spending itu akan membebani biaya kesehatan yang ditanggung masyarakat semakin besar. Pasalnya peningkatan kualitas kesehatan tidak bisa diharapkan kepada program yang dilakukan pemerintah daerah.
Selain itu, CEO lembaga kajian Central for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Saminarsih juga menilai mandatory spending yang dihilangkan dalam UU akan mempengaruhi banyak pelayanan dasar di fasilitas kesehatan daerah.
Misalnya untuk pemberian makanan bergizi untuk mencegah stunting, penyediaan akses obat, pembiayaan bantuan iuran kepesertaan BPJS, hingga program edukasi kesehatan.
Namun, Menkes Budi menilai besarnya belanja yang dilakukan belum tentu berdampak efektif pada kesehatan penduduk Indonesia.
Ia mencontohkan mandatory spending besar yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Kuba. Namun rata-rata usia hidup warga di kedua negara itu tidak setinggi seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura. Budi mengklaim baik Korsel, Jepang, dan Singapura sama-sama tidak menetapkan mandatory spending yang besar.
Menurut Budi, fokus kepada program dilakukan sebagai bentuk efisiensi anggaran. Ia mengaku telah banyak menerima laporan kejadian penggunaan anggaran kesehatan yang tak tepat sasaran
Selain itu penghapusan bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, namun berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah. Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal.
Budi mengatakan pemerintah akan melakukan menjalankan dan melakukan pengawasan pada program yang termaktub dalam Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) yang akan dibuat setiap tahunnya dan akan dibahas bersama lembaga legislatif.
Pennghapusan bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, namun berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah. Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal.
UU Kesehatan mengatur ketentuan baru perihal teknologi kesehatan yang berkaitan dengan genomik warga. Sejumlah organisasi profesi kesehatan di Indonesia sebelumnya menyoroti kekhawatiran terkait aturan transfer data. Pasalnya, berdasarkan pasal 338 UU Kesehatan, terdapat aturan terkait teknologi biomedis.
Pemanfaatan teknologi biomedis itu termasuk mencakup teknologi genomik, transkriptomik, proteomik, dan metabolomik terkait organisme, jaringan, sel, biomolekul, dan teknologi biomedis lain.
Data tersebut kemudian harus disimpan dan dikelola material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan data untuk jangka panjang yang harus dilakukan oleh biobank dan atau biorepositori.
Selanjutnya, pada pasal 340 tertuliskan aturan terkait pengalihan dan penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, atau data ke luar wilayah Indonesia dilakukan dengan memperhatikan prinsip pemeliharaan kekayaan sumber daya hayati dan genetika Indonesia.
Dalam hal ini, sudah diatur juga bahwa pengambilan data tersebut harus atas persetujuan dari pasien atau pendonor. Kendati demikian, kewajiban mendapatkan persetujuan pasien itu dikecualikan dalam sejumlah perkara.
Merespons kekhawatiran itu, Menkes Budi mengklaim Indonesia sudah cukup ketinggalan pada proyek inovasi terkait tersebut. Eks Wamen BUMN itu mengatakan Malaysia sudah melakukan program terkait sejak 2004. Sama halnya, kata dia, dengan Singapura. Ia pun mengklaim banyak negara maju yang sudah secara agresif melakukan program ini.
Sebab dengan bank data ini, ke depan faskes dan nakes dapat memiliki data rekam medis dan dapat mengambil kesimpulan penyakit yang berpotensi terjadi di masa depan pada individu tersebut, sehingga mitigasi dan upaya preventif dapat dilakukan sedari dini.
Adapun perihal potensi kebocoran data dan penyalahgunaan data, Budi memastikan pemerintah akan melakukan proteksi bertingkat, sebab kekayaan negara salah satunya adalah dari genomik warganya.
Ia kemudian mencontohkan, kondisi saat ini dengan nihil peraturan soal penggunaan data genomik, malah banyak praktik perusahaan luar negeri yang berusaha menyediakan jasa itu sehingga malah dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan data.
(khr/kid)