Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH se-Indonesia mengkritik pembahasan proses revisi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dilakukan secara tertutup oleh Komisi I DPR dan pemerintah.
YLBHI mengatakan sampai saat tidak ada informasi yang dapat diakses masyarakat secara terbuka terkait dengan proses revisi UU ITE. Informasi terakhir yang dapat diakses publik dalam laman website DPR RI hanya info RUU sedang dalam pembahasan tahap II oleh DPR RI dan Pemerintah tanpa ada informasi apapun yang bisa diakses.
Sementara itu, kata YLBHI, DPR mengumumkan akan segera mengesahkan revisi UU ITE. Menurut YLBHI, hal itu akan menjadi rentetan preseden buruk praktik otoritarian pembentukan peraturan perundang-undangan yang terus berulang. Oleh sebab itu, YLBHI mendesak pengesahan ditunda dan pembahasan dilakukan secara terbuka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"LBH YLBHI mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk menunda Pengesahan Revisi kedua UU ITE," kata YLBHI dalam keterangan tertulisnya, Kamis (13/7).
Lihat Juga : |
YLBHI menilai proses revisi UU ITE seharusnya dilakukan secara terbuka dengan memberikan informasi yang mudah diakses dan membuka kesempatan kepada masyarakat seluas-luasnya untuk berpartisipasi secara bermakna.
YLBHI menegaskan masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi (right to be informed), hak untuk didengar pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan (right to be considered), hak untuk mendapatkan penjelasan (right to be explained), serta hak untuk menyampaikan komplain (right to be complained) dalam penyusunan Undang-Undang.
"Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan dan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020," ucapnya.
Selain itu, praktik ketertutupan revisi UU ITE merupakan pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat (Sovereignty of the people) yang telah disepakati para founding mothers dan Fathers dalam Pembukaan UUD 1945) sebagai antitesis dari Daulat Raja/Daulat Tuan.
YLBHI menjelaskan revisi UU ITE adalah agenda rakyat yang mendesak. Sebab, masih ada pasal-pasal karet di UU ITE yang selama ini kerap menjadi alat kriminalisasi dan pemberangusan hak kemerdekaan berpendapat berekspresi.
"Oleh karena itu, sudah semestinya masyarakat dapat mengawal dan memastikan bahwa agenda revisi UU ITE sesuai dengan tujuannya untuk memastikan keadilan khususnya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi warga," jelasnya.
YLBHI membeberkan beberapa pasal karet dalam UU ITE yang mengancam demokrasi di antaranya Pasal 26, Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat 1 dan 2, dan Pasal 45 soal pemidanaan.
"LBH YLBHI mendesak pemerintah dan DPR untuk mencabut pasal-pasal karet dalam UU ITE yang mengancam kemerdekaan berpendapat dan berekspresi (Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2) dan (3)," ucap dia.
Sepanjang 2020-2022 YLBHI dan 18 LBH Kantor mengaku telah menangani 199 kasus berkaitan dengan pelanggaran Hak Kebebasan Berekspresi dan Menyampaikan Pendapat.
"Dari seluruh kasus tersebut kami menilai UU ITE seringkali dijadikan dasar pelaporan untuk membungkam suara kritis warga negara," ucapnya.
Sebelumya, Komisi I DPR menargetkan untuk menyelesaikan proses pembahasan revisi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam dua bulan ke depan hingga Agustus mendatang.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR, Abdul Kharis Almasyhari. Dia mengatakan DPR saat ini masih membahas secara intensif daftar inventaris masalah yang diusulkan pemerintah.
"Ke Paripurna akhir bulan Agustus kemungkinan. Ini masih proses, baru selesai pasal 27," ucap Kharis saat dihubungi, Selasa (4/7).
Semantara itu, berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, Komisi I dalam dua hari terakhir sejak Senin (3/7) terus menggelar rapat maraton membahas RUU tersebut. Akan tetapi, rapat yang ikut dihadiri wakil pemerintah itu digelar secara tertutup.
(psr/yla/ain)