Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut dugaan investasi saham di perusahaan ekspor-impor di mana mantan Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Makassar Andhi Pramono menjabat sebagai komisarisnya.
Materi itu didalami tim penyidik KPK lewat Pudjo Suseno (Karyawan BUMN) dan Rudi Suwandi (Wiraswasta) pada Rabu (9/8). Keduanya diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Andhi Pramono.
"Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan dugaan adanya setoran investasi saham di perusahaan yang bergerak di bidang ekspor impor lintas negara untuk membangun koneksi dengan pengusaha di luar negeri dan tersangka AP [Andhi Pramono] sebagai salah satu komisarisnya," ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Kamis (10/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
KPK dalam beberapa waktu terakhir secara masif tengah mendalami upaya Andhi mengaburkan penerimaan gratifikasi. Pada pemeriksaan Jumat (4/8) kemarin, KPK telah mendalami hal tersebut lewat dua saksi yaitu Arwanita (Guru) dan Nusa Syafrizal (Wiraswasta).
Materi serupa juga telah didalami KPK lewat saksi Didin Aminuddin dan Indra Rohelan selaku pihak swasta, Kamis (27/7).
KPK memproses hukum Andhi Pramono atas kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU terkait pengurusan barang ekspor impor.
Andhi diduga menerima gratifikasi sejumlah Rp28 miliar dalam kurun waktu 2012-2022. Penerimaan uang itu melalui transfer ke beberapa rekening bank dari pihak-pihak kepercayaannya yang merupakan pengusaha ekspor impor dan pengurusan jasa kepabeanan dengan bertindak sebagai nominee.
Tindakan Andhi dimaksud diduga sebagai upaya menyembunyikan sekaligus menyamarkan identitas Andhi sebagai pengguna uang yang sebenarnya untuk membelanjakan, menempatkan maupun menukarkan dengan mata uang lain.
Andhi diduga menggunakan uang tersebut di antaranya untuk membeli berlian senilai Rp652 juta, polis asuransi senilai Rp1 miliar dan rumah di wilayah Pejaten, Jakarta Selatan, senilai Rp20 miliar.
Andhi disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) serta Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.