Direktur Ruang Jakarta (Rujak) Center for Urban Studies, Elissa Sutanudjaja, tertawa kecut saat menceritakan proses hukumnya bersama sejumlah warga Ibu Kota soal gugatan polusi udara di Ibu Kota Jakarta. Di ujung telepon, tawa Elissa lebih menyiratkan nada putus asa.
Ia tak habis pikir dengan langkah pemerintah pusat yang berkali-berkali mengajukan banding hingga kasasi soal putusan hakim atas gugatan Citizen Law Suit (CLS) yang dilayangkan Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Tim Advokasi Ibukota).
Elissa merupakan inisiator gugatan tersebut bersama 32 warga DKI lain pada Juli 2020 silam. Pada September 2021, majelis hakim PN Jakarta Pusat memvonis lima dari tujuh tergugat telah melawan hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masing-masing yakni Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten.
Mereka dihukum untuk menjalankan sembilan poin putusan hakim untuk mengendalikan pencemaran udara di Jakarta.
Namun, alih-alih menjalankan putusan itu, para tergugat justru mengajukan perlawanan lewat banding, meski pada 17 Oktober 2022, hakim kembali menolak perlawanan dari para tergugat.
Buntutnya, pada 13 Januari mereka mengajukan kasasi sebagai upaya hukum lanjutan. Kini proses hukum tersebut tinggal menunggu jadwal putusan.
"Intinya nggak ngaku salah gitu. Memang kurang jelas apa gitu, langitnya butek kayak gitu masih nggak ngaku salah juga," kata Elissa lewat sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/8).
Diajukan pada 2020, isu polusi udara DKI kala itu belum banyak menuai sorotan. Apalagi di tengah situasi pandemi saat sejumlah pekerja Ibu Kota menjalankan kerja dari rumah (WFH).
Baru dalam dua bulan terakhir, isu tersebut menjadi sorotan setelah Presiden Joko Widodo disebut tengah dalam kondisi batuk dalam sebulan terakhir imbas buruknya kualitas udara di Jakarta.
"Cuma saya menyesalkan kudu ada kasus polusi tinggi dulu atau Pak Presidennya sakit empat minggu batuk nggak sembuh-sembuh, barusan pemerintahnya kayak ada aksi," kata Elissa.
Faktanya, bukan hanya di Ibu Kota. Kualitas udara terburuk bahkan dicatat oleh beberapa wilayah penyangga, seperti Tangerang Selatan, Bekasi, dan Depok.
Aplikasi Nafas Indonesia selaku penyedia informasi kualitas udara, merilis laporan mengenai daftar sejumlah kota dengan kualitas udara terburuk per Juli 2023.
Dalam laporan mereka, Tangerang Selatan menjadi wilayah dengan kualitas udara terburuk dengan polutan PM2.5 berada di angka 60 mikrogram per meter kubik. Disusul Bekasi di urutan kedua. Lalu Bogor, Tangerang, Depok, dan DKI Jakarta di urutan keenam.
Lebih spesifik lagi, Serpong, Tangsel mencatat angka polutan terburuk dengan polutan PM2.5 di angka 80 mikrogram per meter kubik. Jumlah itu setara dengan 112 batang rokok selama sebulan.
Wilayah Tarumajaya, Bekasi di urutan kedua dengan angka polutan PM2.5 sebesar 79 mikrogram per meter kubik alias setara mengisap 112 batang rokok per bulan.
Lalu, ada Parung Panjang, Bogor (99 batang rokok), Babakan, Tangerang Selatan (98 batang rokok), dan Bedahan, Depok (96 batang rokok) di urutan kelima.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Bondan Andriyanu menerangkan kenaikan angka polutan di wilayah Jabodetabek disebabkan oleh beberapa faktor.
Secara geografis, menurut dia, buruknya polusi udara di wilayah Jabodetabek memang kerap terjadi saat musim-musim kemarau, mulai April hingga September.
Di musim itu, angin akan membawa segala segala sesuatu yang mengendap di permukaan udara dari timur Jakarta. Termasuk emisi dari PLTU Batubara. Dalam catatan Greenpeace, kata Bondan, di Timur Jakarta ada PLTU Babelan, Bekasi.
"Nah, saat ini sekarang dari Timur. Posisinya di Agustus ini arah angin dari Timur," kata Bondan kepada CNNIndonesia.com.
Begitu pula sebaliknya, angin muson Barat yang berlangsung mulai Oktober hingga April akan membawa emisi dari PLTU yang berada di Barat Jakarta. Dalam kasus ini, ada PLTU Suralaya, Banten.
Sialnya, kata Bondan, polusi di Ibu Kota bukan hanya disebabkan oleh PLTU dari daerah penyangga. Bondan mengatakan, DKI juga tercatat sebagai daerah penyumbang polusi tertinggi dari kendaraan bermotor.
Bahkan, DKI kata dia ikut menyumbang emisi kendaraan bermotor ke beberapa daerah penyangganya.
"Dari pinggir Jakarta dikelilingi oleh industri, di dalam Jakarta transportasinya pekat. Jadi saling menyumbang," udap Bondan.
Sayangnya, menurut Bondan, siklus tersebut hingga ini tak direspons cermat oleh pemerintah. Dia mengkritik pemerintah karena selama ini tak pernah menyiapkan langkah serius merespons polusi udara di wilayah Jabodetabek.
Bahkan, alih-alih mengambil langkah mitigasi, pemerintah justru berkali-kali membantah putusan pengadilan soal gugatan oleh Koalisi Ibu Kota. Menurut Bondan, langkah hukum yang diambil pemerintah kontraproduktif.
"Satu sisi mau menangani polusi, tapi gugat yang sudah dimenangkan warga 2-0. Setelah banding ditolak, sekarang kasasi, kenapa harus kasasi lagi. Harusnya cabut kasasinya," kata dia.
Menurut Bondan, sikap pemerintah yang terlihat baru-baru ini lebih terkesan karena viralitas di media sosial. Pemerintah, menurut dia, belum mengambil kebijakan sistematis untuk mengatasi masalah polusi udara di Jabodetabek dan Ibu Kota.
"Jadi yang saat ini dilakukan oleh presiden dan para menterinya itu kayak viral base policy. Tapi bukan sistematis. Bukan apa yang diminta oleh gugatan warga negara itu," kata dia.
Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah menilai pemerintah selama ini tak pernah benar-benar serius mengendalikan polusi udara. Dia menilai sejumlah solusi yang ditawarkan pemerintah sejauh ini tak lebih dari wacana.
Trubus misalnya mengkritik kebijakan kerja dari rumah atau WFH bagi pekerja di Ibu Kota untuk menekan angka polusi udara. Dia meyakini usulan itu akan ditolak, terutama oleh para pelaku usaha swasta karena hanya akan membebani perusahaan.
"Pegawai negeri aja belum tentu mau. Apalagi sekarang Presiden waktunya tinggal setahun, mana mau menteri-menteri melaksanakan. Nggak akan mau," kata Trubus, Selasa (15/8).
Di sisi lain, dia menyebut biaya penanganan polusi udara juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bukan hanya itu, hasilnya menurut dia juga kurang begitu dirasakan. Justru bisa sangat merugikan perusahaan.
Senada dengan Bondan, Trubus menyebut polusi juga bukan hanya disebabkan oleh kendaraan bermotor, melainkan juga PLTU. Apalagi, PLTU berkaitan dengan investasi besar yang menguntungkan negara.
"Ya kalau misalnya menggunakan itu kan rugi. Karena tidak mendapatkan cuan," kata Trubus.
Dia meyakini pemerintah juga tak akan mengambil langkah ekstrem sebagai langkah konkret pengendalian polusi udara. Jangankan menutup PLTU, Trubus bahkan mengaku bertaruh pemerintah tak akan berani mengendalikan polusi lewat kendaraan bermotor, misalnya dengan uji emisi.
Pasalnya, menurut Trubus, pemerintah juga akan berhadapan dengan para pelaku usaha kendaraan sebagai salah satu penyumbang pajak terbesar. Termasuk bahkan dari pebisnis kendaraan bekas.
"Kan kita nggak pernah uji emisi. Kan uji emisi ya rugi banyak biayanya, belum lagi nanti dimusuhi sama pelaku usaha di bidang mobil motor bekas, rugi semua," kata Trubus.