Sejumlah pasal yang diatur di UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 belakangan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Terkini, puluhan advokat yang mengatasnamakan diri Aliansi '98 Pengacara Pengawal Demokrasi dan HAM menggugat usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).
Mereka ingin batas usia maksimal capres-cawapres maksimal 70 tahun. Dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu hanya diatur soal batas usia capres-cawapres minimal yakni 40 tahun.
Namun, tidak diatur soal usia maksimal. Penggugat ingin UU Pemilu tidak hanya memuat batas usia minimal tetapi juga maksimal untuk capres-cawapres.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, usia minimal capres-cawapres juga sebelumnya digugat sejumlah pihak. Elite Partai Solidaritas Indonesia (PSI) misalnya, ingin usia minimal capres-cawapres diubah menjadi minimal 35 tahun. Gugatan itu kini sedang berjalan di MK.
Kemudian, gugatan uji materi soal sistem pemilu proporsional terbuka juga pernah digugat ke MK. Para pemohon meminta supaya pemilu dilakukan menggunakan sistem proporsional tertutup. MK telah memutuskan menolak gugatan tersebut pada pertengahan Juni dan sistem proporsional terbuka tetap digunakan.
Ramainya gugatan UU Pemilu ini juga sempat diakui oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman pada 2022 lalu. Anwar merinci terdapat 25 kali gugatan UU Pemilu ke MK sepanjang tahun 2022.
Kini, tahapan Pemilu 2024 sedang berjalan. Apakah MK bisa menunda atau bahkan tak menerima gugatan UU Pemilu yang masuk sampai Pemilu 2024 selesai agar proses pemilu tak terganggu?
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Fahri Bachmid menjelaskan MK tak bisa melarang warga untuk mengajukan gugatan atau uji materi UU Pemilu meski tahapan pemilu sedang berjalan.
"Enggak ada larangan buat ajukan gugatan UU. Termasuk UU Pemilu boleh, kata Fahri kepada CNNIndonesia.com, Selasa (22/8).
Namun, Dia mencermati cepat atau lambatnya putusan MK tergantung pada hakim MK. Ia menilai hakim MK memiliki prioritas untuk menentukan cepat atau lambatnya proses putusan permohonan.
Menurutnya, hakim konstitusi dapat menentukan mendesak atau tidaknya isu konstitusional yang diajukan oleh pemohon. Terlebih, dalam aturan juga tidak mengatur secara jelas berapa lama proses uji materiil sebuah UU hingga putusan hakim konstitusi.
"Karena buktinya dan perkara-perkara tertentu MK bisa putus dalam speed yang tinggi. Bisa juga suatu perkara bisa berbulan-bulan. Jadi ini tergantung pada sifat perkara itu. Itu berpulang pada hakim MK itu sendiri," kata dia.
Fahri pun mencontohkan MK sempat membuat putusan yang sangat cepat ketika memutus gugatan terkait hak pilih menggunakan e-KTP pada 2013. Ketua MK Mahfud MD kala itu mengabulkan gugatan warga supaya bisa mencoblos pemilu menggunakan e-KTP.
Tak hanya itu, MK juga sempat memutus gugatan dengan cepat terkait penggunaan surat keterangan (suket) perekaman e-KTP sebagai syarat mencoblos di Pemilu 2019. Perkara itu didaftarkan pada 5 Maret 2019 dan diputus oleh MK pada 28 Maret 2019.
Sebaliknya, terdapat pula putusan MK yang diputuskan berlarut-larut. Misalnya, terdapat gugatan UU tentang Minerba yang diajukan oleh organisasi Walhi pada pertengahan 2021 lalu. Kemudian baru diputus MK pada September 2022.
"Putusan fenomenal MK waktu itu putusan dibuat Mahfud saat itu soal penggunaan KTP. Nah putusan itu cepat karena berhubungan hajat hidup orang banyak, dia sifat kemendesakkan jadi masuk akal dan dapat diterima," kata dia.
Berkaca pada kasus di atas, Fahri menyarankan hakim MK tak terburu-buru memutuskan pelbagai gugatan UU Pemilu. Terlebih, materi gugatan itu masuk dalam kategori tak mendesak dan tak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Ia lantas mencontohkan gugatan soal atas maksimal usia capres-cawapres yang digugat ke MK. Baginya, gugatan ini tak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Terlebih, sudah banyak negara-negara demokrasi yang usia pemimpinnya hampir 100 tahun.
Ia juga berpendapat gugatan itu akan dimentahkan MK lantaran penggugatnya dianggap tak memiliki kedudukan hukum oleh MK.
"Jadi tergantung hakim MK. MK kan bisa saja mutus perkara itu di tahun depan. Misalnya gitu. Misal diajukan hari ini, tapi bisa saja MK putus itu di tahun 2024 setelah Pemilu," kata dia.
Senada, pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai pada prinsipnya para hakim MK tak boleh menolak gugatan yang diajukan ke MK, termasuk gugatan UU Pemilu.
"Prinsipnya hakim tidak boleh menolak perkara," kata Feri.
Meski pengajuan gugatan masih diterima, Feri menilai sudah sepatutnya para hakim MK mengetahui putusannya dapat mengganggu proses penyelenggaran pemilu.
Feri tak menafikan bila putusan MK di tengah tahapan pemilu punya risiko baik atau buruk. Karena itu, ia berpandangan pertimbangan hakim mestinya tak mengganggu nilai-nilai konstitusi yang sedang berlangsung.
"Saya yakin hakim akan mempertimbangkan. Kecuali ada pertimbangan-pertimbangan lain yang merusak dari kemerdekaan hakim memutuskan perkara," kata Feri.
(rzr/tsa)