Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid mengajukan permohonan uji materi terhadap ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam mengajukan permohonannya, Fahri menunjuk Advokat Viktor Santoso Tandiasa, Agustiar dan Nur Rizqi Khafifah dari Kantor VST and Partners, Advocates & Legal Consultans.
Permohonan yang teregister dengan nomor perkara: 81/PUU-XXI/2023 itu mulai disidangkan pada Kamis, 24 Agustus 2023 dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perubahan syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi yang dilakukan pembentuk UU-- dalam dua kali perubahan UU-- terhadap syarat minimal usia menjadi hakim konstitusi selalu dilakukan perubahan tanpa alasan dan penjelasan yang jelas dan mendasar secara akademik dan reasonable," ujar Fahri dalam keterangannya, Minggu (27/8).
Lihat Juga :![]() What The Fact! Politics MK Izinkan Kampanye di Kampus dan Sekolah, Rocky Gerung Buka Suara |
Beberapa perubahan syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c UU 24/2003 yang mengatur usia hakim konstitusi sekurangnya 40 tahun. Kemudian Pasal 15 ayat (1) huruf d UU 8/2011 mengatur usia paling rendah 47 tahun.
Terakhir Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 disebutkan batas usia paling rendah untuk diangkat menjadi hakim konstitusi ialah 55 tahun.
"Dan kondisi saat ini UU 7/2020 pun sedang dalam proses perubahan di mana terhadap syarat minimal usia untuk dapat mencalonkan sebagai hakim konstitusi menjadi salah satu Pasal yang masuk dalam rencana perubahan dari usia 55 berpotensi akan diubah dan dinaikkan menjadi 60 tahun," kata Fahri.
Ia menilai perubahan demi perubahan tersebut akan menciptakan ketidakpastian hukum, terlebih untuk dirinya selaku pemohon.
"Dalam batas penalaran yang wajar, suatu ketika, ketika saya menjadi hakim konstitusi, tentunya akan mengalami keadaan yang sama yakni mendapatkan ketidakpastian hukum atas perubahan-perubahan usia minimal menjadi hakim konstitusi ataupun usia maksimal menjadi hakim konstitusi," imbuhnya.
Fahri lantas mengutip pendapat hakim konstitusi Saldi Isra dalam putusan nomor: 112/PUU-XX/2022 pada bagian concurring opinion:
"Bahwa ada kecenderungan dari pembentuk Undang-undang yang sering kali mengubah persyaratan usia minimum ataupun maksimum bagi pejabat publik yang telah diatur di dalam Undang-undang tanpa memiliki landasan filosofis ataupun sosiologis yang kuat dan jelas. Hal ini mengakibatkan potensial terjadinya ketidakpastian hukum bagi pejabat publik yang terkait, baik yang berkenaan dengan masa jabatannya ataupun yang berkenaan dengan kesempatannya untuk mencalonkan diri kembali pada periode berikutnya. Ketidakpastian hukum ini kemudian dapat juga berimbas pada terganggunya kinerja pejabat negara yang bersangkutan, bahkan juga terhadap kinerja lembaga negara ataupun institusi yang dipimpinnya."
Fahri berpendapat terhadap pengaturan syarat usia minimum ataupun maksimum hakim konstitusi dalam UU 7/2020 harus ditetapkan menjadi syarat yang tetap dan tidak berubah-ubah.
"Karena apabila tidak dinyatakan demikian, maka dapat saja kewenangan pembentuk Undang-undang dapat menjadi upaya politik dalam proses bargaining terhadap kepentingan pembentuk Undang-undang atas lembaga tersebut," tutur Fahri.
"Apalagi lembaga tersebut adalah badan peradilan ataupun lembaga penegak hukum yang harus dijamin independensi serta kemerdekaannya dalam melaksanakan tugas dan kewenangan konstitusionalnya," pungkasnya.
Perkara nomor: 81/PUU-XXI/2023 ini diperiksa dan diadili oleh Saldi Isra selaku ketua majelis serta Manahan MP Sitompul dan Guntur Hamzah masing-masing sebagai anggota.