Kesaksian Eksil Masih Dicap 'Tante Gerwani' Gara-gara Beda Pikiran

CNN Indonesia
Senin, 28 Agu 2023 10:28 WIB
Puluhan eksil di Belanda, Jerman, dan sejumlah negara Eropa menyampaikan keluh-kesahnya ke pemerintahan Jokowi soal pelurusan sejarah 1965.
Ilustrasi penyintas tragedi 1956. CNN Indonesia/Andry Novelino
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly beserta jajaran melakukan pertemuan dengan sejumlah warga eksil di Amsterdam, Belanda, Minggu (27/8).

Setidaknya hadir 59 eksil dari Belanda, enam dari Jerman, serta sejumlah eksil dari negara Eropa lainnya secara virtual Zoom.

Pertemuan tersebut dalam rangka penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial. Sejumlah keluh-kesah disampaikan para eksil di hadapan Mahfud dan Yasonna.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sri Budiarti, eksil mantan WNI yang kini tinggal di Jerman, menyinggung pelurusan sejarah tragedi kemanusiaan 1965-1966 karena menyangkut stigma.

"Saya dari tahun 1963 sampai sekarang anggota PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di Aachen dan saya merasakan yang namanya stigma, yang namanya kebencian, kalau saya salah tingkah mereka bilang dasar Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Tahun 2015 saya masih dimaki 'dasar tante ini Gerwani' hanya karena saya berbeda pikiran. Jadi, ini pak. Pengungkapan kebenaran," ujar Ning sapaan akrabnya dalam dialog lewat komunikasi virtual Zoom.

Menurut Ning, pengungkapan kebenaran merupakan sesuatu yang penting. Tanpa itu, kata dia, bangsa Indonesia tidak akan maju.

"Pak Jokowi mengatakan kita mengakui, kita menyesalkan, kita berusaha memulihkan, kita mau mencegah. Apa pak? Yang kita akui opo? Yang kita sesali opo? Yang kita pulihkan opo? Yang mau kita cegah apa?" ucap Ning.

"Tanpa pengungkapan kebenaran kita enggak bisa maju pak. Yudisial maupun non-yudisial," sambungnya.

Dalam kesempatan itu, Ning meminta intervensi Mahfud dan Yasonna terhadap berkas penyelidikan Komnas HAM yang seperti bola ping pong karena terus dikembalikan Kejaksaan sejak 2012.

"Bapak-bapak menteri bisa bantu, saya orang biasa cuma bisa bicara. Terima kasih," tandasnya.

Lebih lanjut, Ning meminta pemerintah RI agar bisa memberikan status dwikewarganegaraan bagi para warga eksil.

"Saya jujur pak, dwikewarganegaraan itu let it possible. Memang Undang-undang belum ada, tapi kan pak Mahfud terkenal tukang terobos-terobos," kata Ning.

"Karena jujur, mungkin tidak sampai 200 [orang], saya bilang kepada pak Sugeng [Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam Sugeng Purnomo] di seluruh Eropa yang mungkin berminat untuk dwikewarganegaraan itu. Masa kita urus 200 saja enggak mau pak Yasonna, negara segitu gede ya. Saya masih bermimpi itu," pungkasnya.

Sungkono, eksil yang kini menetap di Belanda, menyampaikan apresiasi terhadap Presiden Jokowi yang mau mengakui dan menyesalkan peristiwa 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Jokowi dinilainya telah berbuat sesuatu untuk kemanusiaan.

Namun demikian, mantan MAHID (Mahasiswa Ikatan Dinas) ini menyayangkan tidak ada kata 'maaf' dari Jokowi.

"Saya merasa pernyataan pak Jokowi masih belum lengkap. Kalau sudah mengakui dosa sekian besarnya, kok tanpa minta maaf, hanya menyesali," ucap Sungkono.

"Padahal budaya orang Indonesia, berminta maaf itu biasa. Jalan cepat nubruk orang saja 'maaf ya bu atau pak'," imbuhnya.

Sungkono menegaskan dirinya tetap menuntut tanggung jawab negara termasuk untuk meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Ini kejahatan besar di suatu negara kok tanpa menyatakan minta maaf. Ini satu pernyataan saya, dan bukan hanya pernyataan, ini terus terang saya tuntut tanggung jawab negara harus dipikul oleh kepala negara," tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Sungkono mengutip pernyataan Mahfud di media elektronik yang justru malah menegaskan negara tidak akan meminta maaf.

"Nah, itu masih tuntutan saya. Saya tidak lepaskan ini," imbuhnya.

Selanjutnya, ia meminta hak-hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu dipulihkan secara setimpal. Sebab, menurut dia, para korban terlebih yang masih hidup selama bertahun-tahun mengalami kondisi termajinalkan dan penderitaan yang luar biasa.

"Kami yang ada di luar negeri untuk saya adalah keadilan, bukan soal teknis-teknis tadi visa gratis apa itu, saya tidak terpikir sekarang. Yang saya pikirkan bagaimana tanggung jawab negara kepada kami," ucap dia.

"Saya nyatakan di sini yang saya inginkan dan terus terang saya tuntut itu penyelesaian ini harus dilaksanakan secara adil sesuai dengan janji presiden sendiri," tandasnya.

Sungkono berharap penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial dapat dilanjutkan ke mekanisme yudisial.

"Bapak presiden mengatakan kemungkinan menyelesaikan secara yudisial masih terbuka. Ini kalau pintunya terbuka harus segera masuk. Dan tuntutan saya para pelaku dan penjahat kemanusiaan itu harus diseret ke luar dan gerakan semua rakyat Indonesia untuk mengungkap kebenaran," kata Sungkono.

Sementara itu, eksil bernama Tantiana mengutip pernyataan Mahfud dalam video podcast 'Akbar Faizal Uncensored' yang mengatakan rakyat sudah lupa dengan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Dalam video yang sama pada menit ke-34 pak Menko berkata: Ya sudahlah, untuk apa sih, rakyat sudah lupa itu semua," tutur Tantiana.


Di hadapan Mahfud, Tantiana berandai-andai apa yang dilakukan Mahfud ketika anggota keluarga dihilangkan secara paksa, dianiaya, bahkan dibunuh tanpa proses pengadilan.

"Apakah pak Menko bisa melupakan ayah yang dibunuh, paman yang dipenjara tanpa diadili? Kasus yang saya andaikan kepada pak Menko hanyalah satu dari ratusan ribu, mungkin bahkan jutaan orang yang kehilangan anggota keluarganya tanpa diketahui apa kesalahannya tapi sudah divonis dengan dilenyapkan nyawanya dan dipenjara," ungkap Tantiana.

"Pak Menko berkata: Ya sudahlah, untuk apa sih, rakyat sudah lupa itu semua. Rakyat yang mana yang sudah lupa itu semua? Apakah korban pembantaian dan pemenjaraan bukan bagian dari rakyat? Mereka adalah manusia yang punya nama, keluarga, pekerjaan, punya kehidupan yang tak terlepas dari sejarah tanah airnya, punya perasaan dan tubuhnya dapat merasakan kesakitan ketika dipukul, ditendang, disetrum kemaluannya, ketika vagina dimasukkan botol, ketika dijemur di bawah matahari terik, ketika dibikin lapar," lanjutnya.

Tantiana meminta pemerintah RI tidak lepas tanggung jawab untuk memproses hukum para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu serta memulihkan hak-hak korban.

Berlanjut ke halaman berikutnya...

Yasonna dan Mahfud MD Buka Suara

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER