Yasonna menjelaskan pemberian status dwikewarganegaraan untuk para eksil bukan sesuatu yang mudah lantaran hal tersebut harus mengubah terlebih dahulu Undang-undang yang ada.
"Buat sementara bu, ini [multiple visa] dulu, kita lakukan bertahap. Karena kalau mengubah kewarganegaraan itu harus Undang-undang, tidak bisa Perpres. Harus melalui proses Undang-undang. Dan itu perdebatannya panjang," terang Yasonna menjawab permintaan Ning.
"Undang-undang Kewarganegaraan sudah pernah kita masukkan dalam Prolegnas lima tahunan, sudah ada daftar untuk direvisi, tapi sampai sekarang kan belum bisa jalan," sambungnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Mahfud menjawab soal alasan negara atau pemerintah tidak menyampaikan permohonan maaf kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Pemerintah sekarang ini itu pemerintah reformasi, memaksa pemerintah orde baru itu turun, dan kita sudah memaksanya turun. Lalu kita disuruh meminta maaf kepada siapa, wong kita sudah turunkan mereka yang seharusnya minta maaf, seharusnya mereka yang meminta maaf kepada kita, bukan malah kita juga disuruh meminta maaf. Itu terbalik, dan itu dalam pikiran kami," ucap Mahfud.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini mengatakan bangsa Indonesia telah diperintah secara otoriter oleh rezim orde baru selama 32 tahun.
"Kita lawan, kita jatuhkan. Maka, kita bentuk proses-proses hukum itu, apa yang diberikan pertama kepada mantan eks PKI yang dulu distigmakan jahat itu, kan pertama pada tahun 2000 itu langsung penghapusan litsus, penelitian khusus, setiap orang mau bekerja harus bebas PKI, itu hapus semua. Mau jadi anggota DPR jadi anggota DPR, mau jadi gubernur jadi gubernur, itu dibuka semua hak-haknya, dan kita yang buka," tutur Mahfud.
"Jangan lalu kita disuruh minta maaf, wong kita yang buka kok kita yang disuruh minta maaf, wong kita jatuhkan rezim itu. Nah, itu yang kita pikirkan," lanjut dia.
Mahfud berujar penyelesaian hukum pidana harus jelas. Ia menjelaskan dalam hukum pidana tidak boleh menghukum orang lain yang bukan pelaku langsung. Dan kebanyakan pelaku pelanggaran HAM berat banyak yang sudah meninggal.
"Di dalam hukum pidana itu enggak boleh menghukum orang lain yang bukan pelaku langsungnya. 'Loh pak rezimnya?' Rezimnya sudah dihukum secara politik, sudah dijatuhkan. Enggak boleh merintah lagi kamu, kamu jahat misalnya. Sudah selesai politiknya," tutur Mahfud.
"Kita buka penyelesaian secara hukum, tapi ingat kalau hukum pidana itu harus pelaku. Siapa sekarang? Bapak punya daftar pelakunya? Kasih ke saya, kita teruskan besok juga pulang saya proses. Kalau punya ya daftar pelakunya, pelaku, saksi, menggunakan alat apa, di mana tempatnya. 'Pak, kan itu sudah jelas orde baru'. Nah, kalau orde baru itu namanya hukum tata negara, hukum politik, penyelesaiannya secara politik, kita jatuhkan, kamu enggak boleh memerintah lagi, selesai," sambungnya.
Dalam kesempatan itu, Mahfud mengingatkan korban pelanggaran HAM berat masa lalu tidak hanya orang yang dituduh PKI saja melainkan juga ada orang beragama islam dan aparat penegak hukum termasuk TNI.
"Oleh sebab itu, kita tidak menyebut peristiwa G30S PKI tapi menyebut peristiwa tahun 1965-1966," kata dia.
Mahfud turut menjawab soal permintaan pelurusan sejarah peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Ia tidak setuju negara atau pemerintah menulis sejarah.
"Saya tidak setuju negara menulis sejarah karena ganti pemerintah sejarahnya beda-beda kok. Oleh sebab itu, saya katakan negara akan menyediakan biaya penelitian untuk penulisan sejarah, tapi hasil penelitian itu bukan sikap negara," kata Mahfud.
(ryn/gil)