Jakarta, CNN Indonesia --
Seorang warga asal Bireuen, Aceh, Imam Mas menjadi korban penculikan, pemerasan, hingga penganiayaan berujung maut oleh tiga prajurit TNI di Jakarta.
Pomdam Jaya pun telah menangkap dan menahan tiga prajurit tersebut. Tiga oknum prajurit itu adalah Praka RM dari Paspampres, Praka HS dari Direktorat Topografi TNI AD, dan Praka J dari Kodam Iskandar Muda yang sedang berdinas atau Bawah Perintah (BP) di Jakarta saat peristiwa terjadi.
Berdasarkan pemeriksaan sementara, Komandan Pomdam Jaya Kolonel CPM Irsyad Hamdie Bey Anwar mengatakan penganiayaan maut itu didasari motif pemerasan terhadap korban yang diduga berjualan obat ilegal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono hingga KSAD Jenderal Dudung Abdurachman pun buka suara melalui jajarannya masing-masing terkait dugaan tindak kejahatan tiga prajurit itu.
"Panglima TNI prihatin dan akan mengawal kasus ini agar pelaku dihukum berat, maksimal hukuman mati, minimal hukuman seumur hidup," kata Kapuspen TNI Laksamana Muda Julius Widjojono, Senin (28/8).
"Apa yang telah dilakukan oleh tiga orang oknum prajurit tersebut sangat mencederai semangat yang selama ini telah dibangun oleh KSAD agar prajurit TNI AD senantiasa dicintai dan mencintai rakyat," kata Kadispenad Brigjen Hamim Tohari mewakili Dudung pada Selasa (29/8).
Namun, ini bukanlah kali pertama aksi kejahatan berujung maut keji yang dilakukan prajurit TNI. Bagaimana pengamat memandang hal tersebut?
Pengamat militer dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai fenomena aparat TNI melanggar hukum selalu mungkin saja terjadi di lingkungan militer. Sebab, kekuatan dan kekuasaan mudah untuk disalah gunakan.
"Memang ini menjadi pertanyaan bagaimana seorang prajurit yang katakanlah ditempa untuk memiliki integritas moral yang tinggi malah terjerumus menjadi pelaku kejahatan," ujarnya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin malam.
Menurutnya, tindak kejahatan yang dilakukan oleh para anggota TNI terjadi karena berbagai faktor, seperti kondisi moral dan mental prajurit setelah lulus dari pendidikan, lingkungan kedinasan, pergaulan, dan pengasuhan senior. Kemudian, intensitas pengawasan serta keteladanan pimpinan.
"Ini saya kira ini sangat berpengaruh pada seberapa besar peluang seorang prajurit melakukan perbuatan tercela termasuk kejahatan," ujar Khairul.
[Gambas:Video CNN]
Ia pun menyoroti salah satu tersangka dalam kasus penganiayaan pemuda Aceh merupakan seorang anggota Paspampres. Menurut Fahmi, mestinya Paspampres memiliki integritas moral yang lebih tinggi dibandingkan dengan prajurit-prajurit lainnya. Itu, katanya, mesti dipahami karena Paspampres mengemban tugas yang cukup berat yakni menjadi tameng hidup kepala negara.
Fahmi menilai tindakan anggota Paspampres yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang menjadi alarm bahaya bagi pengamanan seorang presiden.
"Bahaya. Sehingga ini harus menjadi perhatian dari para pimpinan Paspampres untuk dievaluasi bagaimana menjaga integritas moral dan profesional prajuritnya," ucap Fahmi.
"Kalau dia melakukan kejahatan ke warga sipil aja bisa bukan tidak mungkin suatu saat hal-hal yang lebih buruk lagi bisa terjadi," sambungnya.
Dengan demikian, kata dia, keamanan kepala negara pun beresiko terancam apabila Paspampres yang notabene memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan pengamanan fisik presiden dan wakil presiden memiliki integritas moral yang begitu rendah.
"Iya ada risiko di situ kalau integritas dari prajurit yang bertugas di Paspampres tidak dipiara dengan baik. Misalnya pergaulannya, hedonisme segala macam," kata Fahmi.
Baca halaman selanjutnya...
Pengamat militer dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan dugaan motif pemerasan yang dilakukan para pelaku mesti didalami.
Pasalnya, menurut dia, ketiga anggota TNI itu memiliki penghasilan dan tergolong lebih sejahtera jika dibandingkan dengan sebagian warga negara RI. Sehingga, sambungnya, tidaklah mungkin uang hasil pemerasan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer.
"Pemerasan ini tujuannya pasti bukan lagi kebutuhan yang sifatnya primer, bukan karena kelaparan tapi saya kira lebih ke kebutuhan tersier yang terkait dengan hedonisme juga bisa. Ini yang harus menjadi concern," ujar Fahmi.
Kendati demikian, Fahmi mengapresiasi langkah cepat POM TNI dalam menindaklanjuti kasus penganiayaan tersebut. Ia berharap hukuman yang diberikan kepada para tersangka bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat.
"Kita harus apresiasi bahwa POM TNI melalui Pangdam Jaya sudah melakukan penanganan yang relatif cepat. Begitu ada kejadian, pelaku diketahui, langsung dilakukan upaya penegakan hukum. Tinggal bagaimana kita melihat proses hukum itu berjalan secara fair dan memenuhi rasa keadilan masyarakat," ucapnya.
Polemik peradilan militer dan tindak pidana kasus pidana umum sipil
Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho mengatakan berdasarkan aturan yang berlaku sekarang, maka kasus penganiayaan yang melibatkan tiga anggota TNI ini kemungkinan besar akan diadili di pengadilan militer.
Hal itu, kata dia, sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pada Pasal 9 huruf a dijelaskan bahwa peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah prajurit.
"Oleh karena itu ini merupakan pembunuhan, statusnya adalah militer maka diadili di dalam peradilan militer," katanya saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Hibnu menilai aturan tersebut tidaklah tepat, sehingga perlu ada pembaruan dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia.
Menurutnya, revisi ini penting agar anggota TNI yang terlibat tindak pidana umum dapat diproses menggunakan mekanisme peradilan umum.
"Saya kira ke depan memang perlu di evaluasi bukan pada pelaku tetapi pada objek. Kalau objeknya itu militer, silakan peradilan militer. Tapi kalau objeknya sipil harusnya peradilan sipil. Ini yang diperdebatkan kan seperti itu seperti kasus [dugaan korupsi di] Basarnas kemarin," ujar Hibnu.
[Gambas:Video CNN]
Hibnu mengatakan usulan merevisi UU tentang Peradilan Militer telah digaungkan--terutama oleh kelompok sipil--sejak beberapa waktu lalu. Namun, menurutnya usulan itu tak disambut baik oleh pemerintah.
Meski begitu, kata dia, proses peradilan kasus ini tak perlu dikhawatirkan karena korban merupakan warga sipil. Berbeda jika yang menjadi korban seorang militer. Sebab, asas yang diterapkan dalam hukum acara pidana militer adalah asas komando.
"Jadi tidak ada anak buah salah. Lain dengan peradilan umum. Peradilan umum pertanggung jawaban kepada pribadi orang masing-masing. Karena komando yang bertanggung jawab pada pimpinan" jelasnya.
"Saya kira tidak perlu ada kekhawatiran karena tidak ada yang ditutupi," imbuhnya.
[Gambas:Photo CNN]
Ancaman jeratan pidana Oknum Paspampres cs
Hibnu mengatakan para tersangka yang terlibat penganiayaan maut pemuda asal Aceh di Jakarta itu harus dijerat Pasal 340 KUHP dengan ancaman pidana mati karena telah menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
Ia pun menilai peradilan militer akan adil dan transparan dalam mengadili kasus tersebut.
"Karena ini sudah mendapatkan perhatian Panglima, masyarakat, saya kira adil. Karena tidak ada kepentingan apa-apa. Tidak ada kepentingan militer, apalagi seorang Tamtama. Dari asasnya pun tidak ada terkait kepentingan militer," kata Hibnu.
Pada 8 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan belum ada rencana untuk merevisi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
"Belum sampai ke sana," kata Jokowi.
Sementara itu, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengaku akan mengikuti keputusan pemerintah jika ingin merevisi Undang-undang tentang Peradilan Militer.