Pengamat militer dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan dugaan motif pemerasan yang dilakukan para pelaku mesti didalami.
Pasalnya, menurut dia, ketiga anggota TNI itu memiliki penghasilan dan tergolong lebih sejahtera jika dibandingkan dengan sebagian warga negara RI. Sehingga, sambungnya, tidaklah mungkin uang hasil pemerasan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer.
"Pemerasan ini tujuannya pasti bukan lagi kebutuhan yang sifatnya primer, bukan karena kelaparan tapi saya kira lebih ke kebutuhan tersier yang terkait dengan hedonisme juga bisa. Ini yang harus menjadi concern," ujar Fahmi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, Fahmi mengapresiasi langkah cepat POM TNI dalam menindaklanjuti kasus penganiayaan tersebut. Ia berharap hukuman yang diberikan kepada para tersangka bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat.
"Kita harus apresiasi bahwa POM TNI melalui Pangdam Jaya sudah melakukan penanganan yang relatif cepat. Begitu ada kejadian, pelaku diketahui, langsung dilakukan upaya penegakan hukum. Tinggal bagaimana kita melihat proses hukum itu berjalan secara fair dan memenuhi rasa keadilan masyarakat," ucapnya.
Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho mengatakan berdasarkan aturan yang berlaku sekarang, maka kasus penganiayaan yang melibatkan tiga anggota TNI ini kemungkinan besar akan diadili di pengadilan militer.
Hal itu, kata dia, sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pada Pasal 9 huruf a dijelaskan bahwa peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah prajurit.
"Oleh karena itu ini merupakan pembunuhan, statusnya adalah militer maka diadili di dalam peradilan militer," katanya saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Hibnu menilai aturan tersebut tidaklah tepat, sehingga perlu ada pembaruan dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia.
Menurutnya, revisi ini penting agar anggota TNI yang terlibat tindak pidana umum dapat diproses menggunakan mekanisme peradilan umum.
"Saya kira ke depan memang perlu di evaluasi bukan pada pelaku tetapi pada objek. Kalau objeknya itu militer, silakan peradilan militer. Tapi kalau objeknya sipil harusnya peradilan sipil. Ini yang diperdebatkan kan seperti itu seperti kasus [dugaan korupsi di] Basarnas kemarin," ujar Hibnu.
Hibnu mengatakan usulan merevisi UU tentang Peradilan Militer telah digaungkan--terutama oleh kelompok sipil--sejak beberapa waktu lalu. Namun, menurutnya usulan itu tak disambut baik oleh pemerintah.
Meski begitu, kata dia, proses peradilan kasus ini tak perlu dikhawatirkan karena korban merupakan warga sipil. Berbeda jika yang menjadi korban seorang militer. Sebab, asas yang diterapkan dalam hukum acara pidana militer adalah asas komando.
"Jadi tidak ada anak buah salah. Lain dengan peradilan umum. Peradilan umum pertanggung jawaban kepada pribadi orang masing-masing. Karena komando yang bertanggung jawab pada pimpinan" jelasnya.
"Saya kira tidak perlu ada kekhawatiran karena tidak ada yang ditutupi," imbuhnya.
Hibnu mengatakan para tersangka yang terlibat penganiayaan maut pemuda asal Aceh di Jakarta itu harus dijerat Pasal 340 KUHP dengan ancaman pidana mati karena telah menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
Ia pun menilai peradilan militer akan adil dan transparan dalam mengadili kasus tersebut.
"Karena ini sudah mendapatkan perhatian Panglima, masyarakat, saya kira adil. Karena tidak ada kepentingan apa-apa. Tidak ada kepentingan militer, apalagi seorang Tamtama. Dari asasnya pun tidak ada terkait kepentingan militer," kata Hibnu.
Pada 8 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan belum ada rencana untuk merevisi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
"Belum sampai ke sana," kata Jokowi.
Sementara itu, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengaku akan mengikuti keputusan pemerintah jika ingin merevisi Undang-undang tentang Peradilan Militer.