Rempang dan Perlawanan Keturunan Pasukan Elite 300 Tahun Silam

CNN Indonesia
Jumat, 15 Sep 2023 10:52 WIB
Ribuan warga Rempang, Batam, menolak digusur dari tanah kelahiran. Mereka berjuang menjaga muruah peninggalan leluhur yang terancam proyek Rempang Eco City.
Kerusuhan pecah saat tim gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP dikerahkan untuk merelokasi warga Rempang, Kota Batam, Kamis (7/9/2023). (Foto: Arsip Istimewa)

Alzaini berpendapat pejabat negara keliru jika menganggap penduduk 16 Kampung Tua di Pulau Rempang sebagai pendatang.

"Penduduk Melayu yang berdiam di Pulau Rempang, termasuk juga Galang dan Bulang sudah eksis sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, beranak-pinak berketurunan, hidup mendiami pulau tersebut," katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji Kepulauan Riau, Anastasia Wiwik Swastiwi menjelaskan berdasarkan penelitian antropolog Singapura, Viviene Wee, jumlah penduduk di Pulau Galang yang berdekatan dengan Rempang, mencapai 1.300 orang pada tahun 1823.

Pada masa kemerdekaan, Kepulauan Riau bergabung dengan wilayah Republik Indonesia. Seiring waktu, pemerintahan Orde Baru menerbitkan Keppres Nomor 41 Tahun 1973.

Kampung Tua sudah ada sebelum Keppres tentang hak pengelolaan Otorita Batam itu diterbitkan. Kemudian pada 2004, Wali Kota Batam tidak merekomendasikan Kampung Tua menjadi bagian dari hak pengelolaan.

Hal itu tercantum dalam Keputusan Wali Kota Batam Nomor KPTS. 105/HR/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam.

"Status kepemilikan tanah dan Kampung Tua, itu konotasinya lebih ke sisi hukum. Menurut perda Batam, Kampung Tua artinya kampung yang ada sebelum Otorita Batam hadir, lebih ke bahasa hukum," kata Anastasia.

Kekeliruan pemerintah

Setelah lebih dari 300 tahun warga berjuang mempertahankan ruang hidupnya, kini mereka terancam tergusur dengan pembangunan PSN Rempang Eco City.

Mahfud MD menyebut negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah entitas perusahaan pada 2001-2002 berupa HGU. Namun, tanah itu belum digarap investor dan tak pernah dikunjungi.

Selanjutnya, pada 2004, hak atas tanah itu diberikan kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, menurut Mahfud, Surat Keterangan (SK) terkait hak itu telah dikeluarkan secara sah pada 2001-2002. Ia pun menyinggung kekeliruan yang dilakukan KLHK.

"Nah, ketika kemarin pada tahun 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut, ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian LHK. Nah, lalu diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak karena investor akan masuk," kata Mahfud.

Alzaini menjelaskan memang ada pendatang yang mengisi lahan di Rempang saat status quo. Namun, pendatang itu menempati bagian darat di Pulau Rempang.

Sedangkan, kata dia, penduduk asli keturunan Prajurit Sultan Riau Lingga sejak dulu hingga kini menempati dan berdiam di bagian pesisir di 16 Kampung Tua Pulau Rempang.

Dia berpendapat hak atas lahan seharusnya dicabut oleh pemerintah jika diketahui tanah itu ditelantarkan selama 19 tahun. Hal itu mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Alzaini pun heran negara justru memberikan pintu masuk untuk PT MEG. Terlebih, warga Rempang baru mengetahui rencana Pembangunan megaproyek Rempang Eco City pada awal Agustus 2023 dari pemberitaan.

"Tidak ada sosialisasi resmi dari pemerintah sebelumnya," ujarnya.

Dia kecewa dengan pengerahan aparat yang berlebihan ke Rempang agar warga bersedia direlokasi. Menurutnya, pemerintah telah melakukan penindasan dan pelanggaran HAM terhadap warga negaranya sendiri.

"Negara telah melanggar hak warga untuk bertempat tinggal, hak untuk bermata pencaharian, hak atas kesejahteraan lahir dan batin, hak atas pelayanan kesehatan dan hak untuk mendapatkan pendidikan dan tumbuh kembang anak-anak generasi penerus," jelas dia.

Menjaga muruah di tanah leluhur

Juru Bicara Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Suardi Mongga menyatakan akan terus mempertahankan tanah yang jadi peninggalan leluhurnya di Rempang. Dia mengatakan permasalahan mendasar bukan ganti rugi atau relokasi tapi ada nilai-nilai dan warisan yang harus dijaga.

Menurutnya, empat generasi sudah tinggal di Rempang. Dia menyebut leluhurnya adalah pasukan dari salah satu panglima di Kerajaan Lingga-Riau. Nenek leluhurnya itu bermukim di Rempang lebih dari 150 tahun lalu.

Oleh sebab itu, dia dan warga Rempang lain merasa mempunyai kewajiban untuk menjaga muruah.

"Nenek moyang kita juga bagian dari panglima kerajaan Riau Lingga. Tanah yang kami miliki bagian dari tanah pusaka yang memang harus kami pertahankan. Khususnya di daerah daerah pesisir, di pulau Rempang ini," kata Suardi kepada CNNIndonesia.com.

"Kalau bicara Rempang, kita tidak berbicara relokasi atau ini tapi nilai sejarahnya. Kita tidak mau hilang. Kalau kata pepatah 'Melayu tak akan hilang di bumi', inilah yang kami pertahankan," lanjutnya.

Suardi menyebut Rempang adalah bumi kelahiran nenek moyangnya, di mana pusat kehidupan berada.

"Jadi memang perlu kita pertahankan, berkaitan dengan muruah," ujarnya.

Suardi mengatakan warga Rempang tidak menolak PSN. Hanya saja, mereka menolak pergi dari tanah nenek moyangnya.

Menurutnya, pemerintah harus lebih bijak dalam pembangunan PSN, tidak boleh mengorbankan rakyat. Dia menyebut pemerintah seharusnya melibatkan warga sebelum menggusur dan merelokasi.

Suardi berharap anak, cucu, cicit dan generasi seterusnya masih bisa hidup di Rempang.

"Bukan masyarakat Rempang menghalangi PSN. Artinya yang kami pertahankan kampung-kampung yang ada di 16 titik," ujarnya.

(yla/pan/pmg)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER