Nestapa Istri Korban KDRT: Disiksa Suami, Disepelekan Polisi

CNN Indonesia
Senin, 18 Sep 2023 11:37 WIB
Lasmini harus diam-diam periksa kuping ke dokter THT gara-gara dijejali air oleh suaminya. Jidatnya benjol sebesar kedondong usai dibenturkan ke dashboard mobil
Ilustrasi pelaku KDRT. (iStockphoto/Nastco)

Lasmini bukan orang pertama dan terakhir yang harus menempuh jalan panjang untuk mendapat keadilan. Ucu, bukan nama sebenarnya, juga mengalami hal serupa. Lima tahun berpacaran dengan Niko (bukan nama sebenarnya), ia kerap mendapatkan kekerasan.

Ucu sering diancam dan dipukuli jika tak mau berhubungan seksual. Hingga akhirnya, dia hamil.

Niko memaksa agar Ucu bersedia menikah. Niko yang merupakan anggota polisi mengatakan kepada Ucu bahwa dirinya rela melepas keanggotaannya demi menikah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ironisnya dia dulu polisi," kata Ucu.

Ucu tetap tak mau, tapi lingkungan juga memaksanya untuk mengiyakan ajakan Niko. Akhirnya mereka menikah pada 2018.

"Padahal itu bukan solusi. Saya tahu sikap pelaku, saya enggak mau nikah," tuturnya.

Saat hamil usia tiga bulan, kepala Ucu dipukuli tiga kali karena dianggap tak mendengarkan saat Niko berbicara. Saat itu, Ucu hanya diam saat Niko berbicara.

"Padahal saya bingung mau nanggapin apa. Dia paksa saya nikah, saya enggak mau. Saya diam saja. Dia bilang, 'jawab-jawab'. Saya enggak jawab. Habis itu kepala saya dipukul tiga kali," cerita Ucu.

Ucu menyebut kekerasan itu kerap dilakukan Niko saat ia menolaknya berhubungan intim atau tak lekas memasak. Padahal, Ucu tak selalu dalam kondisi fit.

Selain itu, Niko kerap mengajaknya berhubungan intim saat Ucu sedang menstruasi. Ucu biasanya dipukuli, didorong, dan ditarik tarik.

Ucu pun tak tahan. Dia kemudian nekat kabur dari rumah.

Tak lama, Ucu bingung. Suaminya juga merajuk. Anak Ucu di rumah dikabarkan sakit. Dia terpaksa kembali ke rumah, tempat yang justru tidak membuatnya nyaman. Tapi, mau bagaimana lagi.

Siklus berulang. Persis seperti apa yang terjadi pada Lasmini. Niko merajuk, tapi tak lama kembali memukuli korban.

Awal tahun ini, Ucu kembali kabur. Kali ini dia ingin melaporkan suaminya ke polisi.

Momen itu terjadi saat Ucu mengetahui bukti perselingkuhan Niko yang sudah berlangsung selama satu tahun.

"Saya kecewa. Saya enggak pernah buka HP dia. Sekalinya buka ternyata banyak foto cewek, sudah janjiin ceweknya nikah dari setahun yang lalu," kata Ucu.

Mereka sempat cekcok, tapi Ucu lebih memilih pergi sebelum tangan suaminya mendarat di salah satu anggota tubuhnya. Ucu melapor ke kantor polisi di kawasan Jakarta Selatan, dekat rumah orang tuanya.

Dia jalan kaki dari rumahnya di Citayam, Depok, dengan terburu-buru dan nekat karena sudah muak.

Uca tak sempat membawa apapun. Ponselnya disita suaminya. Dia tak sempat membawa uang sepeser pun.

Untungnya, di tengah jalan, ada sopir ojek online yang menawari tumpangan. Ucu lelah sudah berjalan jauh, dia pun menerima tumpangan itu.

Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, Ucu sampai di kantor polisi di kawasan Jakarta Selatan. Tapi, laporan Ucu ditolak dengan alasan tak ada polwan di kantor tersebut. Padahal, saat Ucu melapor, ada lima polisi berjaga di sana.

"Pak saya mau lapor," kata Ucu kepada para polisi yang ada di sana.

"Lapor KDRT," ucapnya lagi.

"Oh, enggak bisa mbak, enggak bisa di sini," jawab salah satu polisi di sana. Ucu kemudian mempertanyakan alasan laporannya ditolak.

"Ini kan polsek, enggak ada polwannya," ujar polisi lagi.

Ucu tak mau menyerah. Dia langsung memperlihatkan bukti pemukulan yang dilakukan oleh suaminya. "Sekarang Pak, badan saya biru biru," kata Ucu memohon.

Pengaduan Ucu tetap ditolak. "Tetap saja mbak. Kita kan laki-laki mbak, enggak bisa ngerti posisi perempuan gimana. Mungkin kalau di Mabes kan ada polwannya. Di Mabes saja besok pagi, kalau sekarang sudah enggak bisa," kata polisi.

Oleh polisi, Ucu pun diingatkan untuk membawa salinan atau fotokopi kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), dan buku nikah.

Bagi Ucu, persyaratan itu menyulitkan. Sebab, artinya, dia harus pulang ke Citayam bertemu suaminya lagi. Dia juga tak memegang uang untuk membuat salinan dokumen-dokumen tersebut.

"Posisi saya habis dipukulin. Masa iya, saya harus fotokopi, ketemu pelaku, dan harus debat lagi, ambil dokumen lagi. Rumah saya jauh harus ambil dokumen," ucap Ucu.

Saat ini, Ucu dan anaknya tinggal di rumah orang tua. Meski pisah, secara administrasi Ucu dan pelaku belum berstatus cerai. Ucu menyebut butuh biaya untuk mengurus perceraian.

Saat ini, Ucu kembali mencari pekerjaan. Dia ingin segera mengakhiri pernikahannya. Tapi, belum terpikir lagi untuk kembali melaporkan suaminya. Hingga saat ini, Niko masih bebas, hidup bersama selingkuhannya.

"Sekarang saya sudah enggak tertarik lapor lagi semenjak itu. Cukup sekali. Responsnya kayak gitu," katanya.

KDRT bukan urusan pribadi

Komnas Perempuan mencatat kasus KDRT selama tiga tahun terakhir menunjukkan kenaikan. Pada 2020, kasus KDRT mencapai 47 kasus. Pada 2021 sebanyak 78 kasus dan 2022 mencapai 171 kasus.

Berdasarkan aduan yang diterima berbagai sumber layanan, tahun 2020 kasus KDRT mencapai 93 kasus. Kemudian, 2021 sebanyak 457 kasus dan 2022 sebanyak 279 kasus. Namun, diyakini masih banyak kasus lain yang tak tercatat karena korban enggan melapor.

Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menyatakan KDRT tidak boleh dipandang sebagai urusan domestik. KDRT merupakan urusan publik yang harus jadi perhatian negara.

"Jika sudah ada kekerasan di dalamnya, maka itu urusan kita semua, urusan negara," kata Alim kepada CNNIndonesia.com, Jumat (15/9).

Alim berpendapat aparat penegak hukum tak bisa menolak aduan KDRT. Ia menjelaskan KDRT telah memiliki payung hukum yang dalam Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Ia menegaskan korban KDRT membutuhkan pertolongan dan perlindungan segera. Dia mengibaratkan korban KDRT seperti warga yang terkena gempa kencang. Menurut Alim, pada banyak kasus, korban lari tanpa membawa apapun. Karena fokus utamanya adalah menyelamatkan diri terlebih dahulu.

"Ketika situasi kayak gitu, sangat berharap si korban ini mendapatkan bantuan. Jadi sangat tidak pantas ketika menolak laporan KDRT gara-gara enggak ada polwan," ujarnya.

Menurut Alim, mengabaikan laporan korban KDRT adalah tindakan membahayakan. Kekerasan bisa terus berlanjut hingga berakhir fatal, seperti yang dialami MSD (24) yang dibunuh suaminya NKW (25) di Cikarang Barat, Bekasi.

"Bisa saja meninggal dibunuh pelaku. Atau korban bunuh diri karena frustrasi," ujarnya.

Dihubungi terpisah, Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Khotimun Sutanti mengatakan korban KDRT kerap mengalami kendala baik dari sisi struktur hukum maupun budaya hukum.

Menurutnya, korban harus berhadapan dengan stigma masyarakat saat melaporkan suaminya. Selain itu, tak jarang keluarga tak mendukung korban untuk menyelesaikan kasus secara hukum.

Kemudian, penyidik polisi pun tak sedikit yang mendorong laporan KDRT diselesaikan secara kekeluargaan, meskipun kekerasan sudah berulang kali terjadi. Menurutnya, banyak penyidik salah kaprah menerapkan restorative justice atau keadilan restoratif dalam menangani laporan KDRT.

"Padahal kita tahu siklus KDRT itu kan mulai dari ketika terjadi KDRT, ada fase berbaik, bulan madu, kemudian terjadi KDRT lagi. Itu intensitas kekerasannya bisa bertambah. Dan bisa berulang kalau tidak ada perubahan, tidak digubris atau tidak dihentikan kekerasannya itu," kata Sutanti, Senin (18/9).

(yla/tsa)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER