Masih Pakai Fosil, Koalisi Sipil Tolak Energi Baru dalam RUU EBET

CNN Indonesia
Sabtu, 23 Sep 2023 03:35 WIB
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih menolak energi baru dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). (iStock/rmitsch)
Jakarta, CNN Indonesia --

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih menolak energi baru dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Dalam hal ini, sumber energi baru masih berasal dari fosil. 

"Menolak 'energi baru' dalam RUU EBET," ujarnya dalam media briefing di Jakarta Pusat, Jumat (22/9).

Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah mengatakan dalam pasal 53 RUU EBET draf Juni 2022 mengatur agar harga energi baru mempertimbangkan nilai keekonomian.

"Kalau kita lihat penjelasan mengenai nilai keekonomian, salah satu poin yang harus dipertimbangkan adalah manfaat kesehatan. Sementara kita tahu, penggunaan energi baru yang bersumber dari bahan bakar fosil justru berdampak buruk pada kesehatan jangka panjang, melalui penurunan kualitas udara," kata Fajri.

Kendati, regulasi tersebut penting guna mencegah terjadinya polusi udara di masa mendatang.

Mereka menilai RUU EBET mampu berperan sebagai payung hukum untuk menjaga kualitas udara sehat di Indonesia, mengingat salah satu sumber pencemar udara adalah pembangkit listrik berbasis energi fosil seperti batu bara.

Selain manfaat kesehatan, draf RUU EBET juga telah memasukkan poin-poin pertimbangan yang penting terkait penggunaan sumber energi di antaranya biaya investasi, manfaat lingkungan, sosial, dan manfaat penurunan emisi gas rumah kaca.

Meski demikian, pertimbangan itu justru bertentangan dengan pilihan sumber energi yang digunakan dengan masih mengandalkan energi fosil berkedok energi baru.

"Pemerintah dan DPR mestinya fokus saja mengatur energi terbarukan, tidak perlu lagi ditambahkan dengan energi baru yang sumbernya kita tahu dari mana," tandasnya.



Sementara itu, Dosen Hukum Lingkungan Universitas Padjadjaran Yulinda Adharani menegaskan RUU EBET yang saat ini tengah dibahas DPR bersama pemerintah, masih jauh dari yang diharapkan yakni mendukung transisi ke energi terbarukan.

Menurutnya, RUU EBET tak sejalan dengan tujuan awal bahwa aturan tersebut dibuat untuk mendorong transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan.

Ia menyebut RUU EBET memberi ruang yang sama antara energi baru dan energi terbarukan, yang justru sangat kontraproduktif dengan upaya Indonesia keluar dari ketergantungan terhadap energi fosil.

"Istilah 'new energy' itu tidak dikenal di dunia internasional. Dan ketika Indonesia seharusnya lebih ambisius dalam mencapai target bauran energi terbarukan, rencana regulasi yang sedang disusun malah tidak sejalan dengan ambisi itu," tutur Yulinda.

Yulinda menilai Indonesia saat ini justru memerlukan payung hukum yang jelas terkait energi terbarukan. Karena itu, dia merekomendasikan DPR dan pemerintah membentuk suatu lembaga atau badan khusus yang berperan mengelola energi terbarukan agar capaian transisi energi terlaksana dengan baik.

Selain itu, regulasi mengenai energi baru diminta untuk dimasukkan dalam perubahan Undang-undang sektoral dan fokus terhadap energi terbarukan.

"Perlu ada penguatan peran pemerintah daerah serta partisipasi publik dalam mengelola energi terbarukan. Tetap memperhatikan lingkungan dan mengutamakan teknologi ramah lingkungan. Karena bagaimana pun, dalam draf yang sudah ada sekarang pun, sudah mengatur bahwa regulasi ini akan mempertimbangkan manfaatnya bagi lingkungan, hanya saja realisasi dari ketentuan itu yang masih perlu dipertegas," jelasnya.



Dalam kesempatan yang sama, Ketua BEM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) Naufal Ammar Motota menyatakan komitmen dan implementasi Indonesia terhadap bauran energi terbarukan masih tidak sejalan.

Ia menjelaskan Indonesia berkomitmen untuk mencapai minimal 23 persen energi terbarukan pada 2025. Namun hingga 2022, bauran energi terbarukan Indonesia baru mencapai 14,11 persen dan jauh dibandingkan batu bara yang lebih dari 67 persen dari bauran energi nasional.

"Pemerintah seperti salah arah karena mencampuradukkan antara energi baru dan energi terbarukan dalam RUU EBET. Ketidakjelasan prioritas ini yang kemudian akan menjadi problematika tersendiri untuk transisi energi di Indonesia di masa depan," kata Ammar.

Ammar mengatakan pemerintah dan DPR mestinya memikirkan solusi jangka panjang untuk persoalan polusi udara, emisi gas rumah kaca, dan lingkungan yang nantinya juga akan berdampak pada ekonomi Indonesia.

Menurutnya, solusi tersebut bisa dimulai dengan regulasi yang jelas dan kuat untuk mencegah dampak buruk dari pilihan sumber energi yang digunakan.

"Saat ini kita sudah melihat dampak buruk penggunaan pembangkit batu bara dengan banyaknya masyarakat yang terdampak akibat polusi udara, dan sejauh ini tidak ada langkah solutif yang ditawarkan. Kami mahasiswa akan bergerak memaksa pemangku kebijakan untuk mengambil langkah yang dibutuhkan," ujarnya.

 

(dis/dzu)


Saksikan Video di Bawah Ini:

VIDEO: Ramai-ramai Penolakan Revisi UU TNI

KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK