Perbandingan UU ASN Atur TNI-Polri di Jabatan Sipil dan Dwifungsi ABRI

CNN Indonesia
Sabtu, 07 Okt 2023 10:09 WIB
Prajurit mengikuti upacara HUT ke-78 TNI di kawasan Monas, Jakarta Pusat, 5 Oktober 2023. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang baru disahkan di parlemen pada 3 Oktober lalu memperbolehkan TNI dan Polri mengisi jabatan ASN di lingkungan institusi sipil

Aturan itu dituangkan dalam Pasal 19. Adapun jabatan ASN terdiri dari jabatan managerial dan jabatan non-manajerial.

"Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN. Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia," demikian bunyi Pasal 19 dalam UU ASN terbaru itu.

Ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan Polri dan tata cara pengisian jabatan ASN diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Sementara itu, Pasal 20 UU ASN menyatakan ASN dapat menduduki jabatan di lingkungan TNI dan Polri sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.

Bagian penjelasan pasal tersebut disebutkan pengisian jabatan TNI dan Polri oleh ASN dan sebaliknya bertujuan agar ASN, prajurit TNI, dan Polri memiliki keseimbangan dan kesetaraan dalam pengembangan kariernya berdasarkan Sistem Merit.

Mendapat kecaman

Aturan yang memperbolehkan TNI dan Polri memegang jabatan sipil itu pun mendapatkan kecaman dari sejumlah pihak, termasuk Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Mereka menyatakan aturan UU itu 'mengkhianati' amanat reformasi 1998 untuk menghapus Dwifungsi ABRI era Orde Baru. Pada rezim Orde Baru di bawah Presiden kedua RI Soeharto, tentara dan polisi berada di bawah institusi ABRI.

"Kami mengecam keras langkah revisi UU ASN ini yang mana memasukkan ketentuan jabatan ASN tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri," kata Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya dalam keterangan tertulis, Kamis (5/10).

Menurut Dimas, ketentuan itu merupakan pembangkangan terhadap hukum dan semangat reformasi yang menghendaki penghapusan dwifungsi ABRI serta penguatan terhadap supremasi sipil.

"TNI-Polri diperkenankan menduduki posisi pada ASN merupakan jalan pemerintah untuk mengembalikan hantu Dwifungsi TNI/Polri sebagaimana terjadi pada zaman Orde Baru," ujarnya.

Dia menjelaskan jika merujuk pada konstitusi, TNI hanya dimandatkan untuk mengurusi bidang pertahanan dan Kepolisian ditugaskan untuk mengurusi keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan justru urusan sipil.

Pada draf UU ASN yang telah disahkan pemerintah dan DPR pada 3 Oktober lalu, perihal pengisian jabatan sipil di TNI dan Polri itu tercantum pada Pasal 20 ayat 1 dan 2.

Pasal 20 ayat 1 tertulis: ASN dapat menduduki jabatan di lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.

Pasal 20 ayat 2 tertulis: Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian jabatan di lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Lalu, bagaimana penerapan kebijakan Dwifungsi ABRI yang melekat dengan era Orba selama 32 tahun itu? 

Sejarah dan penghapusan Dwifungsi ABRI

Mengutip dari berbagai sumber, Dwifungsi ABRI adalah kebijakan pada masa Orde Baru yang mengatur tentang fungsi ABRI dalam tatanan negara, yakni sebagai kekuatan militer dan pengatur pemerintahan negara.

Kebijakan ini adalah buntut dari kekosongan tugas TNI/Polri setelah Indonesia berdaulat. Saat itu, pemerintah khawatir TNI/Polri tidak bisa terlibat kembali untuk negara.

Melihat kondisi tersebut, AH Nasution mencetuskan pertama kali gagasan dwifungsi atau dua tugas ABRI. Ia berpidato di ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) pada 12 November 1958.

Dalam pidatonya, Nasution yang kala itu Panglima ABRI mengatakan prajurit dapat berperan dalam politik. Selain itu, ia tidak ingin ABRI menjadi alat penguasa politisi sipil.

Hingga akhirnya penetapan dwifungsi ABRI dilandaskan oleh TAP MPRS Nomor II tahun 1969. Nasution kala itu adalah Ketua MPRS.

Kebijakan dwifungsi ABRI itu lalu diturunkan rezim Orde Baru menjadi undang-undang yakni UU Nomor 82 Tahun 1982. Kala itu, pada UU 82/1982 Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 82 tertulis, "Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini Angkatan Bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkokoh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasar Undang Undang Dasar 1945 dalam segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional."

Berbekal beleid tersebut, di bawah rezim Soeharto, ABRI menduduki jabatan-jabatan sipil secara luas di pemerintahan dari tingkat kampung hingga pusat dan parlemen.

Dwifungsi ABRI memungkinkan TNI/Polri untuk menduduki kursi MPR dan DPR tanpa mengikuti Pemilu. Pada tahun 1990-an, sebagian besar anggota ABRI memegang kunci di sektor pemerintahan.

Aturan tersebut menimbulkan kritik keras dari masyarakat sipil, karena dinilai demokrasi terkikis karena kekuasaan negara dikuasai ABRI. Puncaknya pada gelombang reformasi 1998 yang membuat tuntutan penghapusan dwifungsi ABRi makin santer.

Penghapusan dwifungsi ABRI itu kemudian terjadi pada masa pemerintahan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lewat reformasi di tubuh TNI. Selain mencabut dwifungsi ABRI, Gus Dur memisahkan TNI dan Polri. Kemudian, militer aktif tak lagi bisa berpartisipasi dalam politik partisan maupun menempati jabatan sipil.

"Catatan menarik dari buah reformasi internal TNI adalah bahwa TNI telah melepaskan peran sosial politik menjadi berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan. Konsekuensinya, konsep Dwifungsi ABRI dihapuskan dan TNI menjadi lembaga yang steril terhadap politik. TNI benar-benar melepaskan keterlibatannya dalam politik praktis," demikian dikutip dari artikel 'Dalam Kilas Balik Sejarah' di situs resmi TNI.

Hal itu pun ditegaskan dalam UU 34/2004 yang menyebut TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

UU 34/2004 itu pun kini tengah digodok untuk direvisi kembali. Revisi yang kemudian dikhawatirkan berbagai lembaga sipil akan mengembalikan Dwifungsi ABRI.

Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin pada Mei tahun ini pernah menegaskan agar revisi UU TNI itu mengkhianati amanat reformasi terkait penghapusan Dwifungsi ABRI.

"Dulu itu kan menghilangkan dwifungsi, semangat itu yang jangan dicederai," ujar Ma'ruf pada 12 Mei 2023 seperti dikutip dari situs Sekretariat Negara RI, Jumat (6/10).

Mahasiswa meluber hingga ke kubah Grahasabha Paripurna ketika menggelar unjuk rasa yang menuntut reformasi menyeluruh, Selasa (19/5/1998). (FOTO ARSIP ANTARA FOTO/Saptono)

UU ASN baru atur sipil di jabatan TNI dan Polri

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Abdullah Azwar Anas menyebut warga sipil bisa menjadi direktur hingga wakil kepala di Polri pada masa mendatang.

Dia berkata hal itu dimungkinkan lewat UU ASN yang baru, sehingga bukan hanya TNI dan Polri saja yang bisa mengisi jabatan di institusi sipil.

Dia mengatakan Undang-undang itu menganut prinsip resiprokal dalam manajemen pegawai negara di lingkungan sipil dan TNI-Polri. Dengan demikian, kata dia, lewat konsep resiprokal itu maka ketika Polri membutuhkan tenaga non-Polri, itu bisa diisi dari sipil.

"Misalnya, direktur digital di Mabes Polri atau jangan-jangan ke depan ada wakapolri yang membidangi pelayanan masyarakat dan seterusnya, sangat mungkin, ini telah dibuka," kata Anas di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (6/10).

Anas mengatakan selama ini anggota TNI dan Polri punya kesempatan mengisi posisi di instansi sipil. Namun, ASN tidak bisa menduduki posisi di instansi kepolisian dan militer.

Kini, menurutnya itu berubah karena UU ASN yang baru disahkan pemerintah bersama DPR pada rapat paripurna di kompleks parlemen, Jakarta, pada 3 Oktober lalu.

Meski begitu, Anas menyebut aturan itu bukanlah sebuah kewajiban, karena UU ASN memberi kewenangan pengisian jabatan tersebut ke instansi masing-masing.

"Ini sesuai dengan keperluan institusi yang dimaksud, bisa TNI, bisa Polri," ujarnya.

(nhl/kid)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK