Anwar Usman Ikut Memutus Perkara yang Kabulkan Gugatan Syarat Cawapres
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman ikut memutus dalam putusan yang mengabulkan gugatan syarat pendaftaran capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut mengenai permohonan uji materiel Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal capres-cawapres.
"Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku ketua merangkap anggota, Saldi Isra, M Guntur Hamzah, Manahan MP Sitompul, Daniel Yusmic P Foekh, Enny Nurbaningsih, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai anggota, pada hari Kamis, tanggal 21, bulan September, tahun 2023, dan pada hari Kamis, tanggal 5, bulan Oktober, tahun 2023, serta pada hari Senin, tanggal 9, bulan Oktober, tahun 2023," ujar Anwar Usman dalam persidangan di Gedung MKRI, Jakarta, Senin (16/10).
Anwar menyampaikan putusan itu disampaikan dalam sidang pengucapan putusan pada Senin (16/10) oleh sembilan hakim tersebut.
Sebelumnya, Anwar juga menyampaikan kesimpulan bahwa Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; pokok permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," jelas Anwar saat membaca amar putusan.
"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah"," terang Anwar.
Anwar juga memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pada hari yang sama, MK menolak Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 untuk seluruhnya. Alasannya karena mahkamah menilai pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk keseluruhannya.
Namun, Anwar tidak ikut dalam proses memutuskan tiga perkara tersebut. Anwar terpantau hanya ikut membacakan dalam agenda sidang terbuka untuk umum di MK.
"Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan hakim konstitusi, yaitu Saldi Isra selaku ketua merangkap anggota, Arief Hidayat, MP Sitompul, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, dan M Guntur Hamzah, masing-masing sebagai anggota, pada hari Selasa, tanggal sembilan belas, bulan September, tahun 2023," kata Anwar saat membacakan putusan tiga perkara.
Ketiga perkara gugatan itu terkait pemohon yang mempermasalahkan batas usia minimum capres-cawapres 40 tahun di dalam Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ( UU Pemilu).
Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 misalnya yang diajukan oleh kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meminta batas usia minimum capres-cawapres dikembalikan ke 35 tahun.
Kemudian, pada perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Garuda meminta pengalaman sebagai penyelenggara negara dapat menjadi syarat alternatif selain usia minimum 40 tahun.
Pada perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa mengajukan petitum yang sama dengan Partai Garuda.
Sementara itu, Anwar Usman bersama delapan hakim konstitusi lainnya ikut memutus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang kemudian menyatakan tidak menerima gugatan syarat pendaftaran capres dan cawapres minimal berusia 21 dan 25 tahun.
Adapun putusan nomor 91/PUU-XXI/2023 dan 92/PUU-XXI/2023 tersebut mengenai permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017.
Dalam kesempatan yang sama, Mahkamah Konstitusi (MK) juga mengabulkan permohonan penarikan permohonan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).
Permohonan yang diajukan Soefianto Soetono dan Imam Hermanda itu terdaftar dengan Nomor Perkara 105/PUU-XXI/2023. Mereka ingin MK mengubah syarat usia minimal capres-cawapres dari semula 40 tahun menjadi 30 tahun.
"Mengabulkan penarikan kembali permohonan para pemohon," ujar Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan/ketetapan, Senin.
"Menyatakan permohonan dalam Perkara Nomor 105/PUU-XXI/2023 mengenai Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditarik kembali. Menyatakan para pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo," jelas Anwar.
Anwar diketahui ikut memutus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) putusan permohonan penarikan perkara tersebut.
Posisi Anwar Usman dipermasalahkan sebagai hakim MK lantaran punya hubungan kekerabatan dengan Presiden Jokowi, yakni adik ipar.
Anwar juga dilaporkan ke Majelis Kehormatan MK oleh Pakar Tata Negara Denny Indrayana. Laporan terkait dengan gugatan yang dinilai bisa jadi pintu masuk kemenakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka untuk maju di Pilpres.
"Karena tiga perkara itu berhubungan langsung dengan kepentingan keluarga Anwar Usman, dalam hal ini adalah kakak iparnya, yaitu Presiden Jokowi, dan anak pertama Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka," kata Denny.
Denny menilai Anwar Usman seharusnya mundur dari penanganan perkara yang berkaitan dengan Gibran ini.
(pop/isn)