Masinton: Putusan MK soal Syarat Usia Cawapres Langgengkan Kekuasaan
Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu turut mengomentari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden.
Dia menilai putusan tersebut memberi karpet merah terhadap putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, yang tidak berdiri sendiri.
Menurut dia, putusan itu mengonfirmasi tiga skenario politik yang sempat disampaikannya pada bulan Juni 2022 lalu seperti perpanjangan masa jabatan jadi tiga periode, penundaan pemilu, dan penciptaan calon pemimpin yang bisa diatur oleh kaum oligarki kapital.
"Artinya, bahwa putusan MK ini bukan putusan yang berdiri sendiri, ini by design besar untuk melanggengkan politik kekuasaan tadi," ujar Masinton dalam agenda diskusi yang digelar di Jakarta Selatan, Minggu (29/10).
Masinton mengatakan saat ini persoalan bukan lagi sekadar tentang calon presiden dan wakil presiden serta siapa dukung siapa. Akan tetapi, terang dia, ada hal yang lebih besar dan penting untuk diperhatikan secara saksama.
"Hari ini ada ancaman yang sangat serius terhadap ancaman amanat reformasi dan tegaknya konstitusi dan demokrasi kita," ucap dia.
"Ini bukan persoalan menang kalah, tetapi putusan MK itu putusan kaum tirani yang ingin memaksakan pelanggengan kekuasaan tadi," tandasnya.
Masinton menyatakan putusan perkara nomor: 90/PUU-XXI/2023 bukan atas nama konstitusi melainkan kaum tirani yang menggunakan tangan-tangan MK.
"Bahayanya apa? Bahayanya adalah kita semua tidak ada kepastian dalam menyelenggarakan proses demokrasi," terang Masinton.
"Tirani itu adalah orang yang ingin memaksakan kehendaknya. Artinya apa? Bahwa ini kita sedang tidak baik-baik saja," tambahnya menjelaskan maksud kaum tiran.
Sebelumnya, pada Senin (16/10), MK mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor: 90/PUU-XXI/2023 dengan menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu menjadi "Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."
Terdapat lompatan kesimpulan lantaran alasan permohonan (petitum) pemohon jelas-jelas bertumpu pada ".. atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota."
Dari lima hakim konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan, tiga di antaranya (Anwar Usman, Guntur Hamzah dan Manahan MP Sitompul) memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 "berusia paling rendah 40 tahun" memadankan atau membuat alternatif dengan "atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."
Sementara itu, dua hakim konstitusi yang berada dalam rumpun mengabulkan sebagian tersebut yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 "berusia paling rendah 40 tahun" memadankan atau membuat alternatif dengan "pernah atau sedang menjabat sebagai gubernur."
Sekalipun memadankan dengan jabatan gubernur, Enny dan Daniel menyerahkan kriteria gubernur yang dapat dipadankan dengan berusia paling rendah 40 tahun tersebut kepada pembentuk Undang-undang.
Empat hakim konstitusi yang menolak permohonan perkara nomor: 90/PUU-XXI/2023 adalah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo.
(rhs/pua)