Masyarakat Adat Kehilangan Lahan 8,5 Juta Hektare Selama 5 Tahun
Koalisi Tenure mengungkapkan masyarakat adat telah kehilangan lahannya seluas 8,5 juta hektare. Berdasarkan catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), lahan itu telah dirampas sejak 2017 hingga 2022.
Perwakilan koalisi, Erwin mengatakan perampasan itu melahirkan konflik tenurial di masyarakat adat.
"Secara umum konflik yang terjadi di masyarakat adat meliputi sektor perkebunan, kawasan hutan negara, pertambangan, energi, pariwisata dan pembangunan proyek infrastruktur," kata Erwin dalam konferensi Tenurial 2023, Jumat (24/11).
Erwin menyebut pelaku-pelaku kekerasan dalam rangkaian konflik di wilayah adat umumnya adalah aktor-aktor negara.
"Seperti kepolisian, TNI, aparat pemerintah pusat sampai desa. Ada juga aktor-aktor non-negara seperti preman yang dibayar perusahaan," ujarnya.
Erwin menilai perampasan ini bertalian dengan kebijakan pengakuan bersyarat yang membuat masyarakat adat dan semakin sulit untuk mendapatkan hak-haknya, terutama hak lahan.
"Kriteria yang dipakai berbeda-beda di masing-masing peraturan perundang-undangan. Bobot untuk masing-masing kriteria juga berbeda-beda. Ditambah lagi, perbedaan juga terjadi pada mekanisme atau prosedur pengakuannya," jelas dia.
Erwin menyebut peraturan yang ada memberikan beban kepada masyarakat adat untuk membuktikan keberadaan dirinya dan hubungannya dengan wilayah adat.
Lebih lanjut, dia mengatakan pengakuan dari pemerintah juga bersifat abu-abu. Erwin menyebut meskipun masyarakat adat dapat membuktikan kedua hal itu, tetapi peraturan-peraturan yang ada memberikan kebebasan kepada negara untuk menafsirkan syarat lainnya.
Erwin bertutur dalih yang sering digunakan negara untuk mengambil tanah masyarakat adat adalah 'untuk kepentingan nasional'.
"Meskipun secara substantif masyarakat adat dapat membuktikan eksistensi dan hubungan kausalitas antara dirinya dengan wilayah adat, pengakuan tidak secara otomatis diberikan negara," tambah dia.
Dia berujar desakan pengesahan RUU Masyarakat Adat hingga saat ini tidak direspons secara memadai. Begitu pula terjadi dengan agenda-agenda perubahan hukum yang lain, seperti Revisi UU Kehutanan yang tidak lagi masuk program legislasi nasional.
"Agenda implementasi kebijakan yang pro pada pengakuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya juga menghadapi situasi perlambatan," ucapnya.
Koalisi Tenure terdiri dari AMAN, BRWA, Epistema, HuMa, JKPP, KPA, Perempuan AMAN, Pusaka, Rekam Nusantara, RMI, Samdhana, Sajogyo Institute, WALHI, YLBHI, WGII, KASBI, MADANI, KNTI, KRKP, FIAN, IGJ, Sawit Watch, Greenpeace, Recofte, Papua Studi Center, Landesa, KATA Indonesia, Perempuan Mahardika dan LIPS.
(yla/pmg)