Jakarta, CNN Indonesia --
Gas air mata ditembakkan bertubi-tubi ketika konflik agraria pecah di Seruyan, Kalimantan Tengah, pada 7 Oktober 2023. Saat itu warga menggelar aksi protes terhadap PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP).
"Gas air mata, persiapan, gas air mata," seruan komando dari aparat kepolisian saat itu.
Berdasarkan temuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 14 organisasi masyarakat sipil lainnya, dalam demonstrasi itu warga mendapat kekerasan verbal, dipukuli dengan gagang senjata, dijepret pada bagian punggung dengan karet ketapel hingga ditampar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Imbas kejadian itu, tiga orang terkena tembakan. Dua di antaranya mengalami luka parah dan satu orang meninggal dunia. Selain itu, sekitar 20 warga juga sempat ditangkap.
Saat itu warga sedang menuntut haknya untuk mendapatkan plasma 20 persen dari Hutan Tanaman Industri (HTI), dan menuntut untuk lahan di luar HGU dikembalikan.
Plasma merupakan perkebunan rakyat yang dalam pengembangannya diintegrasikan pada Perusahaan Besar Swasta (PBS) maupun Perusahaan Besar Negara (PBN) sebesar 20 persen.
 Bentrok antara aparat dengan warga Rempang terjadi saat TNI, Polri, dan Satpol PP mendatangi kawasan tersebut untuk relokasi, Kamis (7/9/2023). (Foto: Dok Polresta Barelang) |
Konflik di Rempang
Tepat satu bulan sebelumnya, konflik agraria juga pecah di Rempang, Batam, Kepulauan Riau pada 7 September 2023.
Konflik tersebut dipicu oleh rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Rempang akan menjadi lokasi pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik perusahaan China Xinyi Group. Investasi proyek itu diperkirakan mencapai US$11,6 miliar atau sekitar Rp174 triliun.
Berdasarkan situs BP Batam, proyek ini akan memakan 7.572 hektare lahan Pulau Rempang atau 45,89 persen dari keseluruhan lahan pulau Rempang yang memiliki luas sebesar 16.500 hektare.
Demi proyek itu, pemerintah akan merelokasi warga 16 Kampung Melayu di sana. Warga menolak dipindah secara sepihak dari tempat kelahirannya. Tanah itu merupakan tempat tinggal leluhur mereka sejak sebelum Indonesia merdeka.
Seperti di Seruyan, warga yang melakukan penolakan ditembaki gas air mata. Komnas HAM bahkan menemukan selongsong gas air mata juga di atap sekolah.
Akibat kejadian itu, belasan anak sekolah dilarikan ke rumah sakit karena terkena gas air mata. Sejumlah warga juga mengalami luka-luka.
2.701 konflik agraria
Kejadian di Seruyan dan Rempang hanyalah dua dari ribuan konflik agraria yang terjadi dan mengemuka di hadapan publik selama era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebanyak 2.701 konflik agraria meletus sepanjang 2015-2022. Sebanyak 252 konflik di antaranya terjadi pada 2015, kemudian pada 2016 sebanyak 450 konflik, 2017 sebanyak 659 dan 2018 sebanyak 410 konflik.
Memasuki periode kedua Presiden Jokowi, pada 2019 konflik agraria terjadi sebanyak 279 kasus, pada 2020 sebanyak 241 konflik, tahun 2021 sebanyak 207 konflik dan 2022 sebanyak 212 konflik.
KPA mencatat konflik agraria paling banyak terjadi berkaitan dengan perkebunan, infrastruktur, dan pertambangan. Lebih detail, sebanyak 1.023 konflik terjadi berkaitan dengan perkebunan, 477 konflik terjadi berkaitan dengan infrastruktur dan 180 konflik terjadi berkaitan dengan industri pertambangan.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menilai konflik agraria di era Jokowi cepat berlipat ganda dan semakin kompleks.
Pasalnya, pemerintahan Jokowi mengesahkan undang-undang dan aturan turunannya yang justru memfasilitasi perampasan tanah dan memperparah konflik agraria yang telah ada.
Selain itu, pengerahan aparat berlebihan di setiap konflik agraria membuat ketegangan dan dampak dari konflik itu semakin sulit diatasi.
"Masalah agraria itu struktural," kata Dewi kepada CNNIndonesia.com, Rabu (18/10).
 Insert - Konflik agraria di era Presiden Jokowi pada 2015-2022. (Basith Subastian/CNN Indonesia) |
Mendewakan investasi dan pembangunan
Dewi menilai konflik agraria yang tak berkesudahan tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah yang lebih mendewakan investasi dan pembangunan, tanpa memikirkan nasib warganya.
Keberpihakan itu terlihat jelas tatkala pemerintahan Jokowi dan DPR mengesahkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. Undang-undang itulah yang dimaksud Dewi memfasilitasi perampasan tanah.
Meski telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), UU tersebut masih dipakai. Termasuk, sejumlah aturan turunannya yang menambah eskalasi konflik agraria di Indonesia.
Usai putusan MK, Jokowi mengeluarkan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022.
Secara substansi, Perppu tersebut tak jauh beda dengan isi UU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Kemudian menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023.
Dewi menilai UU tersebut dan turunannya dibuat untuk mempercepat investasi, tapi secara bersamaan mengancam ruang hidup warga. Dimulai dengan izin pemanfaatan ruang disesuaikan menjadi ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR).
Mekanisme ini dibuat untuk meningkatkan ekosistem investasi di daerah dengan menyederhanakan persyaratan dasar perizinan berusaha. Kemudian, alih fungsi lahan dipermudah jika berkaitan dengan PSN.
Imbasnya, eskalasi konflik agraria pun bertambah. Berdasarkan catatan KPA, sebanyak 105 konflik agraria merupakan imbas rencana PSN sejak 2020 hingga 2023.
Dengan stempel PSN, kata Dewi, banyak warga yang terancam dipindahkan dari tempat tinggalnya. Meskipun, warga tersebut telah menempati tanah itu berpuluh atau bahkan beratus tahun lamanya.
Dia mencontohkan seperti masyarakat 16 Kampung Melayu di Rempang dan Air Bangis di Sumatera Barat. Secara turun temurun tanah itu sudah mereka tinggali sebelum Indonesia terbentuk menjadi sebuah negara yang berdaulat atau merdeka.
"Yang paling berbahaya kan pendekatan undang-undang cipta kerja ini seolah menihilkan sejarah tata kuasa tanah yang masyarakat itu yang sudah lebih dulu menempati tanah itu justru sekarang," ujarnya.
Dewi pun miris dengan pemerintah yang justru mendewakan investor. "Jadi kebalik-balik nih seolah-olah masyarakat yang baru datang," ucapnya.
Menurutnya, definisi 'kepentingan umum' dalam UU Ciptaker hanyalah kedok. Frasa itu, dalam praktiknya justru kental dengan kepentingan investasi.
"Definisi kepentingan umum dalam UU Ciptaker itu enggak hanya proyek-proyek infrastruktur, tapi juga Kawasan Ekonomi eksklusif (KEK), PSN, kawasan ketahanan pangan, kawasan tambang, minerba jadi sudah umum tuh," kata Dewi.
Dewi meyakini masyarakat tidak anti-pembangunan. Namun, pembangunan di era Jokowi lebih banyak mengorbankan nasib warga.
Dalam konteks alih fungsi lahan untuk PSN, seharusnya pemerintah melibatkan warga yang akan terdampak. Pemerintah juga tidak boleh memaksa warga jika tak berkenan dipindahkan dari tanah kelahirannya.
"Penyelesaian konflik agraria itu tuh bukan anti-pembangunan tapi seharusnya pembangunan itu tidak berjalan di atas proses-proses perampasan tanah rakyat," ujarnya.
"Harus ada persetujuan dari masyarakat yang akan terdampak itu harus diraih dulu. Harus ada konsultasi publik yang transparan dan enggak bisa hanya melibatkan elite-elite di desa misalnya, di kabupaten, tidak riil melibatkan masyarakat yang akan terdampak," imbuhnya.
Baca halaman berikutnya...
Imbas dari 2.701 konflik agraria yang terjadi sepanjang 2015-2022, KPA mencatat terdapat 1.934 warga dikriminalisasi, 814 dianiaya, 78 warga tertembak dan 69 meregang nyawa.
Dewi menilai dampak dari konflik agraria semakin parah karena pelibatan aparat kepolisian dalam setiap penolakan yang dilakukan oleh warga.
"Kita mencatat itu makin represif dan tidak menghentikan pendekatan-pendekatan keamanan," ucap Dewi.
Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andrie Yunus menilai brutalitas aparat dalam konflik agraria harus dikecam. Terlebih dia berpendapat institusi kepolisian harusnya berada di tengah-tengah, bukan mengamankan pemilik modal.
"Kepolisian itu kan institusi negara, yang dia harus di tengah. Tidak kemudian memihak pada perusahaan yang mungkin saja menggelontorkan sejumlah dana untuk meng-BKO-kan pasukan di daerah tertentu," kata Andrie saat ditemui Selasa (10/10).
Andrie melihat ada pola yang mirip dari pengerahan aparat dalam konflik agraria. Tak jauh dari tindakan represif dan menggunakan gas air mata yang membahayakan.
"Padahal sudah jelas di aturan berbagai macam dari undang-undang sampai ke aturan setingkat peraturan kepala kepolisian atau perkap itu sudah jelas dalam penanganan aksi massa tidak boleh ada tindakan berbahaya apalagi itu mengancam hilangnya nyawa,"
Menurutnya, perlu ada reformasi di tubuh kepolisian. Dia juga mengatakan penegakan hukum harus diwujudkan bagi personel yang terlibat kekerasan hingga ke akar.
"Proses penyidikan atau proses hukum terhadap pelaku lapangan yang melakukan tindakan brutal sampai menghilangkan nyawa seseorang, itu tidak dihukum berat," kata dia.
"Terlebih dalam prosesnya mengarah pada impunitas, tidak menyasar pimpinan tapi hanya pelaku lapangan, itu yang kemudian terus terjadi di daerah lain yang dimensi konflik agraria dan ada polisi yang mengamankan di situ," imbuhnya.
Sementara itu, YLBHI menilai PSN dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) menghasilkan efek berlipat berupa ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat. Sedikitnya, terdapat 106 konflik agraria dan PSN ditangani YLBHI-LBH kantor di seluruh Indonesia. Luas wilayah yang berkonflik ±800.000 ha dengan lebih dari satu juta rakyat menjadi korban.
Ketua Umum Pengurus YLBHI, Muhamad Isnur menilai keterlibatan aparat dalam konflik agraria hingga melakukan aksi represif adalah penyalahgunaan wewenang.
"Bukan hanya itu, ini bagian dari pemerintahan otoritarian," ujarnya.
Salah satu pengerahan aparat berlebihan pernah terjadi pada kasus Wadas, Jawa Tengah pada 8 Januari 2022.
Ribuan aparat kepolisian dengan senjata lengkap menyerbu Desa Wadas. Polisi mencopot spanduk penolakan Bendungan Bener dan mengejar beberapa warga penolak tambang kuari untuk PSN Bendungan Bener sampai ke hutan.
[Gambas:Photo CNN]
Mengingat janji nawacita Jokowi
Isnur berpendapat pembangunan atas nama apa pun tidak boleh mengorbankan warga. Dia pun mengingatkan 9 program nawacita yang pernah dijanjikan oleh Jokowi saat Pilpres 2014.
Dalam salah satu poin nawacita, Jokowi berkomitmen untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Dari poin itu, Jokowi membuat program 'Indonesia Sejahtera' melalui reforma agraria 9 juta hektare (ha) untuk rakyat tani dan buruh tani.
"Jadi ini sebenarnya berkebalikan ya. Janji dia di nawacita. Di nawacita itu cuma topeng dia untuk dia menang ya, terpilih oleh rakyat. Tapi setelah terpilih justru dia yang menelikungnya, menginjak-injak rakyat," kata Isnur.
Isnur kecewa di periode kedua Jokowi menjabat presiden, konflik agraria terus tinggi. "Ini menandakan Jokowi kemudian periode kedua semakin naik dengan dukungan oligarki. Jadi, keputusan itu bukan lagi untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan pemodal," ujarnya.
Pada awal pemerintahan, Jokowi juga menargetkan perhutanan sosial (PS) seluas 12,7 juta hektare dan pelepasan kawasan hutan produksi konversi menjadi tanah untuk reforma agraria (TORA) seluas 4,1 juta ha.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga mendapati wilayah kelola rakyat hanya 3.064.797 hektare hingga 2022.
Sekjen KPA Dewi berujar Jokowi seharusnya menunaikan sampai tuntas komitmennya. Salah satunya dengan proaktif pembuatan sertifikat tanah untuk warga, khususnya masyarakat adat.
Hal itu mengacu pada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA dijelaskan warga yang telah menempati, memproduktifkan lahan, serta menjaga kesuburannya selama puluhan tahun ialah yang paling berhak atas tanah tersebut.
Namun, alih-alih dilegalkan, masyarakat terutama masyarakat adat seringkali terlibas. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mencatat 301 konflik agraria berkaitan dengan perampasan wilayah adat selama 2019-2023.
"Maksudnya begini, kayak kasus Rempang. Oh, karena Rempang enggak, warganya enggak punya sertifikat, mereka ilegal. Tapi pemerintah lupa, otokritik ke internalnya sendiri," ujarnya.
"Kenapa dari sejak ada Undang-Undang Pokok Agraria 1960 sampai sekarang, negara dalam hal ini pemerintah tidak kunjung melakukan pendaftaran tanah secara nasional," imbuhnya.
 INSERT: Konflik Agraria dalam Program Strategis Nasional 2021. (CNN Indonesia/Agder Maulana) |
CNNINdonesia.com telah meminta keterangan dari Deputi II di Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan dan Tenaga Ahli Utama KSP Ade Irfan Pulungan terkait upaya pemerintah dalam mengatasi konflik agraria yang bejibun. Namun, hingga berita diterbitkan keduanya belum juga merespons.
Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa dirinya tak ingin konflik agraria terus terjadi. Hal itu ia sampaikan saat menyerahkan sertifikat tanah objek reforma agraria kepada para petani, nelayan, dan masyarakat umum.
Jokowi menegaskan komitmen pemerintah untuk memberi kepastian hukum atas tanah secara berkeadilan. Menurutnya, upaya mewujudkan hal itu menjadi tugas seluruh elemen bangsa.
"Saya sudah berkali-kali menyampaikan bahwa tidak ingin konflik agraria yang terjadi di banyak daerah ini terus-menerus berlangsung. Saya tidak ingin rakyat kecil tidak mempunyai kepastian hukum terhadap lahan yang jadi sandaran hidup mereka," kata Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Rabu (22/9/2021).
Namun saat terpilih kembali sebagai presiden pada 2019, Jokowi menyatakan bakal mengejar pihak yang menghambat investasi di Indonesia. Hal ini terkait dengan perizinan yang lambat, berbelit hingga dugaan pungutan liar.
Ia bahkan menyatakan tak akan segan untuk menghajar langsung pihak yang menghambat investasi.
"Perizinan yang lambat, berbelit-belit, apalagi yang ada punglinya. Hati-hati, hati-hati, ke depan saya pastikan akan saya kejar, saya kontrol, akan saya cek, dan akan saya hajar," ujar Jokowi dalam acara penyampaian Visi Nasional 2019 di Sentul International Convention Center (SICC), Minggu (14/7/2019).
Jokowi mengatakan tanpa penghambat investasi, pemerintah akan lebih mudah membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya.