Tak hanya menimbulkan keresahan, kampanye hitam dengan isu LGBTQIA juga menyebabkan kelompok minoritas itu kian tak percaya dengan Pemilu. Mereka tidak merasakan kehidupan yang lebih baik dengan bergantinya kepemimpinan nasional.
Fitri mengatakan komunitas LGBTQIA sudah sering mendapatkan perlakuan buruk dari masyarakat, bahkan pemerintah. Diskriminasi yang terus-menerus mereka alami akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan kelompok tersebut kepada Pemilu.
"Akhirnya ya sudah. Semua itu hanya dilalui. Toh kalau ada Pemilu atau Pilkada itu nggak ada dampaknya untuk mereka," kata Fitri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, menurut Fitri, sejumlah orang dari kelompok LGBTQIA khawatir perhelatan politik justru berdampak negatif terhadap mereka.
"Kalaupun ada dampaknya, bisa saja malah memberangus kelompoknya," katanya.
Nurma mengaku akan menyalurkan hak saat pemungutan suara 14 Februari 2023 nanti. Namun mengesampingkan isu LGBTQIA dalam menentukan pilihan. Ia lebih mempertimbangkan profesinya sebagai penyanyi campursari.
"Saya nurut hati saya aja, kira-kira yang nanti prospek ke depannya bagus ya itu yang saya pilih," katanya.
"(Soal isu LGBTQIA) sekadar harapan. Kalau optimis, mau optimis dari mana? Kita nggak ada bekingan untuk men-support kita," kata Nurma.
Hal serupa disampaikan Uwik. Sebagai aktivis transpuan, Uwik mengaku ada politikus yang menjanjikan kesetaraan hak untuk komunitasnya. Namun nyatanya janji-janji tersebut tak pernah terealisasi.
"Kalaupun kita mendapatkan bantuan atau fasilitas dari Pemerintah, itu karena kita yang meminta. Bukan inisiatif dari Pemerintah," katanya.
Perilaku politisi yang ingkar janji itu, kata Uwik, membuat komunitasnya kian tak percaya dengan jalur politik untuk memperbaiki nasib mereka.
"Makin ke sini makin nggak percaya. Kita milih sini, sini, atau sini, sama saja. Banci tetep di-kepruki (dianiaya)," katanya.
(vws)