Ungkap Luas Lahan Terbakar, Guru Besar IPB Digugat Perusahaan Sawit
Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo digugat oleh perusahaan sawit PT Jatim Jaya Perkasa (JJP). Ini merupakan gugatan kedua yang dilayangkan PT JJP terhadap Bambang.
Pada 2018, Bambang juga digugat ke Negeri Cibinong, Jawa Barat terkait metode pengambilan sampel bekas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan akreditasi laboratorium di Kabupaten Rokan Hilir. Namun gugatan itu dicabut perusahaan pada persidangan kedua.
Kali ini, Bambang digugat terkait luas lahan kebakaran yang disebabkan oleh aktivitas perusahaan tersebut. Bambang mengungkapkan luas lahan yang terbakar di Rokan Hilir mencapai 1.000 hektare (ha).
"Sekarang digugat lagi itu karena menurut mereka luasan kebakaran yang terjadi di lokasi mereka itu tidak sebesar itu," kata Bambang kepada CNNIndonesia.com, Rabu (17/1).
Bambang merupakan saksi ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) melawan PT JJP terkait kasus karhutla pada 2013 lalu. Bambang menyebut semua pernyataannya sebagai ahli dipaparkan dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Rokan Hilir, termasuk mengenai luasan lahan yang terbakar.
Bambang heran kenapa perusahaan sawit tersebut baru mempermasalahkan dan menggugat keterangannya terkait luas lahan itu. Padahal, persidangan sudah dimulai sejak 2015 dan Bambang mengaku selalu konsisten terkait keterangannya soal luas lahan terbakar.
Namun, PT JJP tetap mengklaim luasan lahan yang terbakar di Rokan Hilir yaitu 120 ha.
Adu data ahli vs perusahaan
Bambang menyebut keterangan 120 ha lahan terbakar disampaikan oleh penyidik dalam persidangan, bukan olehnya. Dalam konteks saat itu, kata Bambang, penyidik memaparkan ulang pernyataan saksi dari perusahaan saat verifikasi di lapangan.
"Ya, tentu saja kan pernyataan itu dimuat di dalam berita acara verifikasi. Kan seperti biasa kan," kata dia.
Bambang pun menjelaskan bagaimana pihaknya mengidentifikasi luas lahan terbakar hingga 1.000 ha. Awalnya, pihaknya melakukan identifikasi dengan menggunakan satelit beresolusi rendah dari NOAA dan NASA.
"Ada NOAA sekarang ya, NOAA-20. MODIS-Terraqua. Ada SNPP-VIIRS," sebutnya.
Meskipun beresolusi rendah, Bambang mengatakan pengamatan menggunakan satelit itu penting dilakukan. Sebab, satelit yang dikembangkan NOAA dan NASA itu merekam perubahan lebih cepat.
"Ada yang 2 jam sekali, ada yang pagi, ada yang sore, ada yang malam harian, sebagainya," kata dia.
Pengamatan lebih lanjut juga dilakukan Bambang menggunakan satelit dengan resolusi tinggi. Salah satunya itu adalah Sentinel-2 yang dikeluarkan oleh European Satellite Agency.
Namun, kata dia, terkadang citra yang hendak ditangkap oleh satelit tertutup awan. Oleh sebab itu, dia pun melakukan pengamatan langsung ke lokasi (ground check) pada 2016.
Saat itu, Bambang mengaku menemukan keanehan. Sebab, blok atau peta tanaman PT JPP mengalami perubahan atau tidak sesuai dengan sebelumnya. Sehingga, kata Bambang, pihaknya kesulitan mengidentifikasi.
Bambang sempat ditegur karena hal tersebut. Namun, PN Rokan Ilir meminta keterangan dari pihak perusahaan.
"Akhirnya wakil ketua PN itu yang memimpin sidang korporasi setempat itu tanya ke pihak perusahaan kenapa jadi begini nih? 'Maaf yang mulia katanya. Karena memang sudah kami ganti itu. Manajemen yang memerintahkan.'," kata Bambang.
Bambang mengatakan seharusnya dengan adanya pengakuan itu, perusahaan tidak menggugatnya.
Terlebih, kata Bambang, kasus yang menyeret PT JJP itu merupakan kasus lingkungan. Oleh sebab itu, data mengenai luas lahan yang terbakar yang dipercaya merupakan keterangan dari ahli.
"Kalau berdasarkan putusan kasasi yang nomor 651 tahun 2015, itu jelas, dikatakan, luasan itu yang menentukan itu ahli. Bukan BPN, bukan apa. Karena kasusnya itu bukan kasus sengketa lahan atau sengketa tanah. Ini adalah kasus lingkungan," jelasnya.
"Makanya yang paling berhak menghitung luasan dan sebagainya itu adalah ahli. Nah, justru itu. Jadi, saya sendiri bingung. Kok ini malah jadi seperti ini? Begitu kan ya," imbuhnya.
Dia pun menduga gugatan yang dilakukan kepadanya itu merupakan serangan terhadap pembela lingkungan karena mengungkapkan pelanggaran hak atas lingkungan (Strategic lawsuit against public participation/SLAPP)
"Tujuannya tadi untuk membungkam. Dan sebetulnya yang dibungkam itu bukan saya saja, seluruh ahli kan? Kalau begini nanti dilihat bagian ininya [digugat]. Nanti sudah putus ditolak, dicari-cari kesalahan bagian lainnya. Jadi kapan saja mereka akan gitu dong. Berarti gak pernah akan ada kepastian hukum kalau begitu caranya," ujarnya.
CNNIndonesia.com sudah menghubungi kuasa hukum PT JJP, Christian Immanuel terkait gugatan tersebut. Namun, dia belum juga merespons.
(yla/pmg)