Yusril Sebut Presiden Boleh Kampanye dan Berpihak saat Pemilu

Advertorial | CNN Indonesia
Kamis, 25 Jan 2024 00:00 WIB
Guru Besar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra membenarkan bahwa Undang-Undang Pemilu tidak melarang seorang presiden untuk ikut
Presiden Joko Widodo. (Tangkapan layar YouTube Sekretariat Presiden)
Jakarta, CNN Indonesia --

Guru Besar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra membenarkan bahwa Undang-Undang Pemilu tidak melarang seorang presiden untuk ikut berkampanye, baik untuk pemilihan presiden maupun legislatif. Peraturan yang sama juga tidak melarang kepala negara untuk berpihak atau mendukung salah satu pasangan calon presiden.

Pada pasal 280 Undang-Undang Pemilu, disebutkan secara spesifik bahwa pejabat negara yang dilarang berkampanye adalah ketua dan para Hakim Agung, ketua dan hakim Mahkamah Konstitusi, serta ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan.

Sementara, pasal 281 mensyaratkan pejabat negara yang ikut berkampanye dilarang untuk menggunakan fasilitas negara atau mereka harus cuti di luar tanggungan. Pada UU tersebut tidak menghapuskan aturan soal pengamanan dan kesehatan terhadap presiden atau wakil presiden yang berkampanye.

"Bagaimana dengan pemihakan? Ya kalau presiden dibolehkan kampanye, secara otomatis presiden dibenarkan melakukan pemihakan kepada capres cawapres tertentu, atau parpol tertentu. Masa orang kampanye tidak memihak," kata Yusril pada Rabu (24/1/2024).

Yusril mengatakan, peraturan yang ada tidak menyatakan bahwa presiden harus netral, tidak boleh berkampanye, ataupun tidak boleh memihak.

"Ini adalah konsekuensi dari sistem Presidensial yang kita anut, yang tidak mengenal pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dan jabatan Presiden dan Wapres maksimal dua periode sebagaimana diatur oleh UUD 45," katanya.

Menurut Yusril, jika presiden tak boleh berpihak maka seharusnya jabatan presiden dibatasi satu periode.

Dirinya pun kemudian mempersilakan pihak yang ingin presiden bersikap netral untuk mengusulkan perubahan konstitusi.

"Itu (agar presiden netral) memerlukan amandemen UUD 45. Begitu pula Undang-Undang Pemilu harus diubah, kalau presiden dan wakil presiden tidak boleh berkampanye dan memihak. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Presiden Joko Widodo tidak salah jika dia mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak," paparnya.

Yusril juga menyatakan tak sepakat dengan pernyataan bahwa keberpihakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap salah satu kandidat adalah tidak etis,

Hal yang harus digarisbawahi bagi Yusril, adalah perbedaan antara norma etik dengan code of conduct.

"Kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat, yang harusnya dibahas ketika merumuskan Undang-Undang Pemilu," katanya.

"Tetapi kalau etis dimaknai sebagai code of conduct dalam suatu profesi atau jabatan, maka normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil dan seterusnya," lanjut Yusril.

Yusril menegaskan, sampai sekarang code of conduct presiden dan wakil presiden (dilarang kampanye atau berpihak) itu belum ada.

Karena itu, Yusril mempertanyakan indikator etis yang ditujukan kepada Jokowi. Sebelumnya Jokowi di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma sempat melontarkan pernyataan bahwa presiden boleh berkampanye, pada Rabu (24/1).

"Kalau seseorang berbicata etis dan tidak etis, umumnya berbicara menurut ukurannya sendiri. Bahkan, orang kurang sopan santun atau kurang basa-basi saja sudah dianggap tidak etis. Apalagi dibawa ke persoalan politik, soal etis tidak etis, malah terkait dengan kepentingan politik masing," kata Yusril.

(adv/adv)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER